Wednesday, November 21, 2007

Ekspor Produk Turunan CPO Merosot Tajam

Rabu, 31 Oktober 2007

Jakarta, Kompas - Sejak tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya diberlakukan secara progresif, ekspor produk turunan minyak sawit justru merosot.

Sebaliknya, ekspor minyak sawit mentah (CPO) terus meningkat. Padahal, kenaikan pungutan ekspor diharapkan dapat memastikan ketersediaan CPO untuk diolah di dalam negeri menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi.

Data Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menunjukkan, ekspor produk turunan CPO merosot sejak tarif pungutan ekspor (PE) CPO diberlakukan Juni 2007.

Pada periode Juni-September 2007, volume ekspor produk turunan CPO, antara lain refined bleached and deodorized (RBD), Palm Olein, RBD Palm Stearin, dan produk olahan lain tercatat sebesar 1,43 juta ton, anjlok dari volume ekspor 2,18 juta ton pada periode yang sama tahun 2006.

Sementara itu, volume ekspor CPO pada Juni-September 2007 tercatat 1,79 juta ton, meningkat dari 1,44 juta ton pada periode yang sama tahun 2006.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Erwidodo di Jakarta, Selasa (30/10), mengatakan, pemerintah tidak menutup kemungkinan evaluasi kebijakan penerapan PE sesuai perkembangan harga dunia dan kondisi industri di dalam negeri.

"Sekarang (tarif PE yang berlaku) masih dipertahankan, tetapi mungkin tidak dibiarkan sampai setahun kalau memang ada sesuatu yang membuat kebijakan tidak efektif," ujar Erwidodo.

Disinsentif

Secara terpisah, Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menyatakan, industri hilir kini tak lagi termotivasi berproduksi akibat mahalnya PE.

Pada saat bersamaan, pasar ekspor lebih banyak menyerap CPO karena harga patokan ekspornya lebih murah dari produk turunan.

Nilai PE CPO saat ini 78,4 dollar AS per ton, sementara PE RBD Palm Olein (minyak goreng) mencapai 82,4 dollar AS per ton.

Tingkat tarif PE tersebut menjadi disinsentif bagi pengembangan industri hilir nasional. Utilisasi industri hilir CPO saat ini baru sekitar 20 persen dari kapasitas terpasang 21 juta ton per tahun. (DAY/HAM)