Sunday, November 19, 2006

Pengusaha Sawit Kecewa

Jumat, 17 November 2006
Jakarta, Kompas - Pengusaha kelapa sawit dan udang merasa kecewa karena tidak termasuk sebagai sektor usaha yang menerima insentif Pajak Penghasilan yang baru diumumkan pemerintah. Padahal, kedua sektor ini juga membutuhkan insentif tersebut untuk meningkatkan investasi agar memiliki nilai tambah.

"Kami sudah sering kemukakan bahwa industri hilir kelapa sawit selama ini masih kurang berkembang sehingga harus ada insentif juga. Jika seperti ini, wajar Indonesia hanya mampu menjadi eksportir minyak sawit mentah terbesar dunia tanpa nilai tambah apa pun," kata Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun saat dihubungi di Medan, Kamis (16/11).

Industri kelapa sawit wajib menyetor Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 tentang laba perusahaan sebesar 30 persen kepada pemerintah. Artinya, jika perusahaan memperoleh laba Rp 1 miliar dalam setahun, perseroan wajib menyetor sebesar Rp 300 juta kepada pemerintah. Kondisi ini menyebabkan industri hilir kelapa sawit sulit berkembang.

Hal itu karena industri kelapa sawit masih harus mengembangkan infrastruktur sendiri di kawasan kebun hingga ke pabrik kelapa sawit. Selanjutnya, kerusakan jalan dari pabrik menyebabkan ongkos angkut minyak sawit mentah (CPO) ke industri pengolahan menjadi mahal.

Malaysia menerapkan PPh lebih rendah dari 30 persen untuk seluruh jenis industri. Pada kelapa sawit, Derom yakin nilai yang dipungut jauh lebih rendah karena merupakan salah satu sektor andalan Malaysia. Pemerintah Malaysia juga membangun infrastruktur, yakni dari jalan hingga pelabuhan, sehingga ongkos produksi dapat ditekan.

"Kalau pemerintah serius ingin mengembangkan kelapa sawit sebagai industri pionir, insentif PPh sangat dibutuhkan. Kebijakan ini akan meningkatkan daya saing kami dengan Malaysia pada produk hilir kelapa sawit," katanya.

Indonesia memproduksi 13,3 juta ton CPO tahun 2005, sedangkan Malaysia sekitar 15 juta ton tahun 2005. Tahun ini ditargetkan produksi meningkat menjadi 15,2 juta ton, sedangkan Malaysia sebesar 15,1 juta ton.

Budidaya udang

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Ady Surya mengaku kecewa atas pengabaian terhadap usaha budidaya udang dalam kebijakan pemberian insentif PPh. Padahal, antusiasme investor untuk menanamkan modalnya pada usaha budidaya dan pengolahan udang begitu besar.

Lebih dari itu, volume produksi udang hasil budidaya pun cenderung meningkat setiap tahun. Seperti pada tahun 2003 sebanyak 193.935 ton, tahun 2004 menjadi 238.843 ton, dan tahun 2005 mencapai 279.539 ton. Sebaliknya, udang hasil penangkapan di laut cenderung stagnan, rata-rata 240.829 ton per tahun.

Luas lahan yang potensial untuk budidaya udang 1,3 juta hektar, tetapi yang tergarap baru lebih kurang 375.000 hektar. Volume produksi pada tambak intensif 20 ton per panen, tambak semi-intensif 3 ton-5 ton per panen, dan tambak tradisional 0,5 ton per panen.

"Dengan luas lahan potensial yang belum tergarap, berarti peluang investasi dalam usaha budidaya udang begitu besar. Demikian pula dengan peluang produksi budidaya. Jadi, pantas jika industri perikanan budidaya juga diberikan insentif," kata Ady.

Ia juga kecewa dengan insentif PPh hanya diberikan bagi usaha penangkapan ikan di Samudera Hindia. Itu berarti, usaha tersebut hanya tersebar di timur Sumatera dan selatan Jawa. Kebijakan itu justru menghambat peluang usaha perikanan di kawasan timur Indonesia (KTI).

"Jika pemerintah serius mendongkrak usaha penangkapan dan pengolahan ikan, seharusnya insentif itu diberikan untuk investasi di KTI. Di sana merupakan sentra potensi dan produksi perikanan," ujar Ady. (jan/ham)

Hutan Karet Habis Terbakar, yang Tersisa Hanya Amarah

Kamis, 16 November 2006
Acung menunjuk ke arah hutan karet seluas 3,5 hektar yang dimilikinya turun-temurun. Tiap hari dia menyusuri hutan untuk menoreh delapan kilogram getah, yang tiap kilogram dijual Rp 7.500 pada pengumpul.

Hutan karet milik Acung berada di tepi perkebunan kelapa sawit milik PT Mega Sawindo Perkasa (MSP) di Desa Lalang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Desa itu dapat dicapai dua jam berkendara dari Pontianak melalui ruas Trans-Kalimantan yang belum diaspal.

"Keterlaluan. Perusahaan hanya mau bayar hutan karet Rp 500.000 per hektar. Mau makan berapa lama dengan uang Rp 1,75 juta," kata Acung. Dia menduga perusahaan sengaja membakar hutan karetnya karena dia menolak dikonversi menjadi kebun sawit.

Awalnya, kebakaran terjadi di areal PT MSP. Lalu, merambat ke ladang penduduk. Acung curiga kebakaran itu disengaja. Dia semakin marah karena pekerja perkebunan tidak membantunya memadamkan api.

Manajer Lapangan PT MSP, Kong, membantah perusahaannya membakar lahan warga. "Kami juga korban. Uang Rp 500.000 itu bukan ganti rugi, tapi bantuan bagi warga," tutur Kong yang warga Malaysia itu.

Acung menganggap bantahan itu tidak tepat. Alasannya, PT MSP juga telah membayar denda adat Rp 50.000, yang berarti PT MSP telah mengaku salah.

Di Desa Lalang itu perusahaan tempat Kong bekerja akan membuka kebun sawit seluas 2.000 hektar. Sudah ratusan hektar dibuka, namun hingga November ini belum satu pohon kelapa sawit pun ditanam karena bibit sawit baru disemai.

"Kemarau ini sangat parah. Udara kering, rumput pun kering. Sebatang rokok saja dapat menyebabkan kebakaran. Kami ini juga korban," ucap Kong.

Selain Acung, ada warga lain yang hutan karetnya terbakar. Alung, misalnya, mengaku per hari menoreh enam kilogram getah karet. Sementara Yusak menoreh 20 kilogram getah karet per hari. "Saya geram ketika seorang pekerja perkebunan bilang karet dapat tumbuh lagi. Saya bilang, tahu enggak kalau butuh 16 tahun untuk ditoreh lagi," kata Yusak. Seperti Acung, Yusak pun terlihat sangat marah, tapi tiada daya.

Untuk menghadapi PT MSP, kini Acung, Yusak, Alung, dan beberapa penduduk desa telah berkonsultasi dengan pengacara Pontianak, Andel. Mereka berharap Andel dapat memperjuangkan nasib mereka.

Jalur hukum merupakan salah satu upaya penduduk desa. Apalagi sekelompok petugas keamanan dibayar perusahaan untuk menghalangi siapa pun yang ingin mempertanyakan nasib hutan karet mereka.

"Kami pakai pengacara. Semoga hukum masih ada dan kami menang," ujar Acung bersemangat saat ditemui di kawasan perkebunan PT MSP.

Tidak lama, delapan petugas keamanan menunggangi sepeda motor RX-King "mengepung" kami. Kata-kata mereka sedikit mengancam. Ada sedikit rasa gentar. Terlebih, beberapa petugas mengatakan dapat membuat kami tidak keluar selamat dari perkebunan.

Dalam bahasa Dayak, Acung membantah ucapan petugas keamanan. Petugas itu pun pergi setelah kami berjanji melapor ke kantor mereka. "Mereka saudara sekampung walau sekarang memusuhi kami karena telah bekerja dan digaji perusahaan," tutur Acung. Kini, konflik horizontal antarwarga Desa Lalang memang terlihat nyata.

Kepala Desa Lalang Alex Pramana membenarkan, kini ada warga yang pro maupun kontra perkebunan sawit. Namun, dia tidak ingin memihak karena kedua pihak adalah warganya.

Haryono Sadikin dari organisasi konservasi lingkungan WWF-Indonesia untuk Pontianak, prihatin atas pembukaan lahan sawit oleh PT MSP. "Saya tidak mengerti mengapa mereka harus membabat hutan karet masyarakat yang masih produktif. Masih banyak lahan kritis yang dapat diusahakan," ujarnya.

Menurut Haryono, pemerintah daerah dan kepolisian harus menyidik kebakaran lahan PT MSP yang merembet ke lahan rakyat. "Membakar lahan tetap lebih murah daripada membuka lahan dengan alat berat dan banyak pekerja. Musim kemarau sering diperdaya sebagai alasan terjadinya kebakaran tanpa disengaja," tutur Haryono. PT MSP, kata Kepala Bapedalda Kalbar Tri Budiarto, kini sedang disidik.

Kini, seusai hujan berhari-hari, langit Pontianak kembali terlihat biru. Kabut asap nyaris dilupakan warga Kalbar. Namun, hutan karet milik Acung dan petani lain sudah terbakar. Mereka terlalu perkasa untuk menangis, hanya amarah tersisa.... (Haryo Damardono)