Monday, April 30, 2007

Konversi Lahan Dilarang 397 Perusahaan Perkebunan Sudah Diberikan Surat Peringatan

Selasa, 10 April 2007

Jakarta, Kompas - Pemerintah melarang pembukaan kawasan hutan baru yang dikonversikan untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Departemen Kehutanan hanya memberikan izin usaha perkebunan kelapa sawit di bekas kawasan hutan yang sudah dikonversi tetapi ditelantarkan.

"Pokoknya, sudah tidak ada lagi penerbitan izin untuk konversi kawasan hutan menjadi perkebunan. Investor perkebunan harus memanfaatkan lahan yang saat ini belum tergarap," kata Menteri Kehutanan MS Kaban, Senin (9/4) di Jakarta.

Kaban menyebutkan, sampai saat ini pemerintah sudah melepas kawasan hutan seluas 23 juta hektar untuk dikonversi menjadi perkebunan.

Akan tetapi, dari luasan hutan itu, hanya 2 juta hektar yang sudah termanfaatkan, sementara 21 juta hektar lainnya masih telantar.

Padahal, semua kayunya sudah diambil oleh perusahaan yang mendapatkan izin konversi. Kaban mengatakan, pihaknya akan mencabut izin konversi perusahaan yang menelantarkan lahan bekas kawasan hutan. Pemerintah akan menggugat perusahaan itu karena tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan.

"Izin konversi yang dicabut itu nantinya kami alihkan kepada perusahaan yang berminat mengelola perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, lahan yang telantar akan termanfaatkan," ujar Kaban.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan, sembilan perusahaan dicabut izinnya yang sebagian besar beroperasi di wilayah Kalimantan.

Selain itu, 397 perusahaan perkebunan sudah diberikan surat peringatan yang sebagian besar membuka lahan di wilayah Sulawesi.

Dari jumlah itu, 49 perusahaan sudah mendapatkan surat peringatan ketiga, 135 perusahaan mendapatkan surat peringatan kedua, dan 213 perusahaan mendapatkan surat peringatan pertama.

Kaban menegaskan bahwa lahan yang telantar saat ini merupakan lahan yang subur dan cocok untuk perkebunan.

"Jadi, lahan itu memang bisa dimanfaatkan karena saat pelepasan sudah kami sesuaikan untuk perkebunan," tuturnya.

Selain untuk perkebunan kelapa sawit, lahan telantar tersebut rencananya juga akan dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan kawasan hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat. Menurut Kaban, dua sektor ini akan menjadi sektor unggulan di industri kehutanan.

>small 1<>small 0

Sementara itu, untuk penerimaan sektor kehutanan, Departemen Kehutanan tahun ini menargetkan sebesar Rp 2,55 triliun. Penerimaan itu dicanangkan dari iuran provisi sumber daya hutan (PSDH) sebesar Rp 1,21 triliun, iuran dana reboisasi (DR) sebesar Rp 1,3 triliun, dan izin usaha pengusahaan hasil hutan dan kayu (IUPHHK) sebesar Rp 31 miliar.

Untuk tahun 2006, menurut data Departemen Kehutanan, realisasi penerimaan sektor kehutanan sebesar Rp 2,4 triliun dengan rincian dari PSDH Rp 560 miliar, DR Rp 1,73 triliun, dan IUPHHK Rp 111 miliar. (OTW)

Dua Pejabat Perusahaan Perkebunan Divonis Bebas

Selasa, 03 April 2007

Banjarmasin, Kompas - Dua pejabat perusahaan perkebunan PT Kintap Jaya Wattindo, General Manager Dwi Suryono dan Manajer Lapangan Tukas Banusuka, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Menurut hakim, keduanya tak terbukti merambah taman hutan raya di daerah itu.

Menurut penasihat hukum kedua terdakwa, Giyanto, vonis bebas disampaikan majelis hakim dalam sidang 24 Maret 2007. "Karena tidak terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," katanya, Senin (2/4).

Menanggapi putusan itu, Jaksa Aini Arsyad menyatakan akan mengajukan kasasi, sementara tiga penasihat hukum terdakwa menerima putusan hakim.

Dwi dan Tukas sempat ditahan oleh Polres Tanah Laut selama 16 hari pada September 2006. Polisi menduga keduanya bertanggung jawab atas pembukaan lahan untuk perkebunan karet yang diperkirakan masuk dalam wilayah Tahura Sultan Adam.

Menurut Giyanto, keterangan para saksi dan fakta di pengadilan menunjukkan kedua terdakwa tidak terbukti merambah ataupun membuka hutan di Tahura Sultan Adam. Majelis hakim yang dipimpin Ajidinnor menyatakan, lahan yang dibuka PT KJW sebelumnya adalah milik warga dan telah diganti rugi. (FUL)

Lahan Gambut Walhi Kalteng Desak Pencabutan Izin Sawit

Selasa, 20 Maret 2007

Palangkaraya, Kompas - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Tengah mendesak Pemerintah Kabupaten Kapuas agar mencabut izin perkebunan sawit di kawasan program Pengembangan Lahan Gambut. Walhi menilai jika izin perkebunan itu dijalankan, tidak ada lagi areal yang tersisa bagi petani untuk sawah.

Kawasan Pengembangan Lahan Gambut 1,4 juta hektar merupakan satu masalah ekologi terbesar di Kalteng karena hampir seluruhnya rusak dan terbengkalai. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang menyebutkan, hanya 30.000 hektar di kawasan itu yang berupa lahan pertanian.

Untuk mempercepat rehabilitasi dan revitalisasi kawasan PLG, pemerintah menerbitkan instruksi presiden (inpres). Menurut Teras, dengan inpres tersebut memungkinkan untuk segera mengonversi 20 persen atau sekitar 300.000 hektar kawasan PLG menjadi areal pertanian dan perkebunan. Sementara 80 persen dijadikan kawasan konservasi.

"Kami akan menginventarisasi berapa izin perkebunan sawit yang sudah dikeluarkan bupati. Saya secara ketat akan mengacu pada inpres yang wajib dipatuhi," kata Teras, Minggu (18/3).

Rencana mengubah 20 persen kawasan PLG menjadi areal budidaya itu disorot tajam Walhi. Penelusuran Yayasan Petak Danum (anggota jaringan Walhi Kalteng) menunjukkan, Pemerintah Kabupaten Kapuas telah menerbitkan izin membangun kebun sawit kepada sekitar 13 perusahaan. Luasannya 317.100 hektar. Jika terwujud, tak ada lagi areal untuk sawah. Demikian Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Satriadi di Palangkaraya kemarin.

Membantah

Data Walhi itu dibantah Kepala Dinas Perkebunan Pemkab Kapuas Sungeb. Menurut dia, pemkab hanya menerbitkan izin perkebunan sawit bagi delapan perusahaan sejak 2004.

"Luasnya, saya tidak hafal. Yang pasti di bawah 200.000 hektar," kata Sungeb. Dia berharap izin itu tidak dicabut karena diterbitkan lebih dulu dibandingkan inpres. Seyogianya justru diselaraskan dengan program rehabilitasi dan revitalisasi PLG.

Teras mengemukakan, program itu hendak mencetak 93.000 hektar sawah baru sehingga luas keseluruhan sawah di kawasan PLG berjumlah 123.000 hektar. (Cas)

Korupsi di Kaltim Surya Dumai Disebutkan Tak Bangun Kebun Sawit

Rabu, 14 Maret 2007

Jakarta, Kompas - Bupati Nunukan, Kalimantan Timur, Abdul Hafid Ahmad mengatakan, ia mengeluarkan surat penghentian penebangan kayu yang dilakukan sejumlah perusahaan di bawah Surya Dumai Group. Alasannya, Pemerintah Kabupaten Nunukan menilai perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan kayu itu ternyata tidak serius membangun perkebunan kelapa sawit.

Itu diungkapkan Hafid dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Gusrizal, Selasa (13/3) di Jakarta. Hafid menjadi saksi bagi terdakwa Martias, Presiden Direktur Surya Dumai Group (SDG). Sebelumnya, Hafid juga menjadi saksi bagi terdakwa Gubernur Kalimantan Timur nonaktif Suwarna Abdul Fatah.

Hafid mengakui, delapan perusahaan di bawah SDG yang mendapatkan izin pemanfaatan kayu di Nunukan adalah PT Sebuku Sawit Perkasa, PT Tirta Madu Sawit Jaya, PT Marsam Citra Adiperkasa, PT Bulungan Hijau Perkasa, PT Bumi Simanggaris Indah, PT Kaltim Bhakti Sejahtera, PT Repenas Bhakti Utama, dan PT Karang Hijau Lestari. "Saya hentikan semua penebangan karena melihat tidak ada keseriusan dalam membangun kebun kelapa sawit, seperti yang dijanjikan," tuturnya.

Hafid menjelaskan, berdasarkan pemantauan di lapangan dan laporan dari bawahannya, ternyata tidak ada keseimbangan antara penebangan kayu dan penanaman pohon sawit. Karena itu, dalam beberapa kesempatan setiap kali bertemu Martias, Hafid meminta agar perusahaan di bawah SDG itu membuat kebun sawit.

Hal itu, kata Hafid, agar kebun sawit segera terwujud karena Pemkab Nunukan memiliki pemikiran untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang sebelumnya bekerja di Malaysia. Impian itu muncul saat melihat banyak TKI terlunta-lunta di Nunukan karena dipulangkan paksa.

Nama Martias

Jaksa penuntut umum Wisnu Baroto bertanya bagaimana Hafid tahu bahwa perusahaan itu dimiliki Martias. "Ya, manajernya, Rohman, selalu berhubungan dengan staf saya," kata Hafid.

Saat ditanyakan oleh penasihat hukum Martias apakah saksi melihat surat kuasa yang dibawa Rohman, Hafid menjawab, "Menurut pemahaman saya, Rohman orangnya Martias, karena Rohman yang selalu berhubungan dengan staf saya."

Martias bertanya, apakah Hafid pernah melihat akta pendirian perusahaan itu menyebutkan namanya, Hafid pun menjawab, "Saya tak pernah lihat." Namun, dia percaya perusahaan itu milik terdakwa. (VIN)

Kelapa Sawit Produk CPO Indonesia Diminati Pakistan

Selasa, 13 Maret 2007

Islamabad, Kompas - Produsen minyak kelapa sawit mentah Indonesia dapat melirik pasar yang semakin prospektif di negara Pakistan.

Pertumbuhan ekonomi Pakistan yang semakin positif telah meningkatkan permintaan terhadap minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

"Selama ini Pakistan mengimpor 60 persen CPO dari Malaysia, sisanya dari Indonesia. Saat ini kebutuhan CPO mereka meningkat karena industri pengolahan CPO yang ada sudah mulai berproduksi tahun ini," kata Yuyun Kamhayun, Kuasa Usaha Kedutaan Besar RI untuk Pakistan, di Islamabad, Senin (12/3).

Pakistan mengimpor 1,3 juta ton CPO dan produk turunannya setiap tahun. Biro Statistik Pakistan telah menetapkan impor dari Indonesia ke dalam kategori minyak dan lemak nabati tetap.

Negara yang bertetangga dengan Afganistan dan India ini berpenduduk sedikitnya 150 juta jiwa. Kondisi ekonomi yang terus membaik menyebabkan tingkat perdagangan pun semakin meningkat.

Pada perdagangan periode 2004-2005, nilainya masih sekitar 270 juta dollar AS. Pada periode selanjutnya, terjadi lonjakan impor sebesar 50 juta dollar AS sehingga nilainya menjadi 320 juta dollar AS.

Produksi CPO

Indonesia sendiri tahun 2006 memproduksi 16 juta ton CPO. Sedikitnya 11,5 juta ton diekspor, sedangkan sisanya sekitar 4 juta ton lagi diserap industri pengolahan di dalam negeri.

Negara tujuan ekspor terbesar masih tetap India, setelah itu Eropa dan China. India mengimpor sedikitnya 1,8 juta ton CPO dari Indonesia dan 1,2 juta ton dari Malaysia.

Perkembangan industri hilir CPO saat ini, terutama sejak menguatnya keinginan pengembangan bioenergi di seluruh dunia, mulai menimbulkan keresahan di negara-negara importir CPO.

Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan produsen CPO terbesar kedua di dunia setelah Malaysia berpeluang besar untuk mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan pesaingnya.

Kertas juga diminati

Selain CPO dan produk turunannya, Indonesia juga berpeluang meningkatkan ekspor komoditas lain ke Pakistan. Kertas dan produk kertas merupakan komoditas lain yang juga prospektif dipasarkan ke Pakistan.

Meski menghadapi persaingan yang sangat ketat dari produk China, Turki, dan Thailand, kertas Indonesia masih tetap diminati pasar Pakistan.

Kualitasnya yang baik dengan kertas putih yang mengilap membuat produk Indonesia laku untuk dipasarkan di Pakistan.

Pada periode 2004-2005, impor produk kertas Pakistan dari Indonesia mencapai nilai 21 juta dollar AS. Adapun pada periode selanjutnya terjadi kenaikan yang cukup signifikan menjadi 30 juta dollar AS.

Staf Seksi Ekonomi Kedubes RI di Islamabad, M Niam Sutaman, mengatakan, peningkatan tersebut terjadi karena belum banyak produsen kertas dan produk kertas di Indonesia yang serius menggarap pasar Pakistan.

"Sudah saatnya produsen minyak kelapa sawit di Indonesia menjajaki pasar di Pakistan untuk meningkatkan pangsa pasar ekspornya di pasar internasional," ungkap Niam Sutaman. (Hamzirwan)

Monday, April 23, 2007

Produk ekspor Disiapkan, Insentif Industri Hilir CPO

Sabtu, 03 Maret 2007

Jakarta, ANTARA - Pengembangan industri hilir minyak sawit mentah (crude palm oil) akan mendapat banyak insentif karena pemerintah akan mengembangkan mekanisme insentif untuk mendorong berkembangnya industri hilir CPO di dalam negeri. Kebijakan itu ditempuh dalam upaya mendorong pertumbuhan industri hilir CPO.

Demikian dikatakan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida di Jakarta, Jumat (2/3).

Menurut Diah, kebijakan itu lantaran pasar ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang sudah ada saat ini jangan sampai ditinggalkan konsumen. Hal itu mengingat persaingan ketat di industri minyak nabati, baik dari sesama produsen CPO sendiri maupun produsen minyak nabati lainnya berbahan baku bunga matahari dan kedelai.

"Kita harus tetap menjaga pasar yang ada, jangan sampai ditinggalkan. Di dalam negeri, industrinya (industri hilir CPO) diberi insentif yang kira-kira membuat mereka bisa berkembang supaya penyerapan (CPO) di dalam negerinya juga besar," kata Diah.

Pemerintah sebenarnya sudah punya payung hukum pemberian insentif untuk mengembangkan industri hilir CPO di dalam negeri, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2007, yang mengatur insentif Pajak Penghasilan untuk industri tertentu dan atau di daerah tertentu, serta PP Nomor 7 Tahun 2007 yang mengatur pembebasan Pajak Pertambahan Nilai produk strategis.

Diah mengatakan, industri CPO yang sudah ada tidak bisa begitu saja dialihkan menjadi industri hilir CPO. Hal itu karena selain potensi ekspor CPO dan pasarnya besar, produsen CPO sendiri juga harus menghadapi kampanye negatif dari pesaingnya, yaitu para produsen minyak nabati seperti minyak bunga matahari maupun kedelai.

"Mereka kan juga tidak ingin CPO kita mengisi pasar. Jadi kampanye negatif itu harus kita lawan bersama-sama," katanya.

Diah juga menyinggung rencana pemerintah dalam jangka panjang untuk mengembangkan produksi CPO di dalam negeri guna mengantisipasi peningkatan permintaan seiring dengan berkembangnya industri hilir CPO kelak.

"Jadi di on-farm-nya (perkebunan) juga harus dibenahi. Semua itu harus dilakukan dalam jangka panjang," katanya.

Menanggapi konsep pengembangan industri hilir CPO yang diminta Wapres Jusuf Kalla, kini pihaknya bersama departemen dan instansi terkait masih melakukan perhitungan secara rinci agar pasar ekspor CPO yang ada tidak ditinggal. Pasar industri hilir CPO bisa tumbuh dan berkembang di dalam negeri.

"Skenario kebijakannya bisa ditanyakan ke Pak Benny Wahyudi (Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian). Intinya, semua di Pak Benny," katanya. (ast/antara)

Belum Tentu Dilikuidasi Induk BUMN Perkebunan Hanya Tambah Rentang Kendali Pengawasan

Jumat, 23 Februari 2007

Jakarta, Kompas - Meski disadari kemampuan badan usaha milik negara sektor perkebunan menghasilkan keuntungan relatif rendah, pemerintah akan tetap mempertahankannya. Pemerintah sedang mengkaji restrukturisasi BUMN perkebunan tanpa harus likuidasi.

"Memang ada BUMN perkebunan yang produktivitasnya lebih rendah dari perusahaan swasta yang mengolah lahan lebih kecil. Tetapi, saya belum memutuskan apa pun karena sedang dikaji hasil penilaian menyeluruh (due dilligence) dari masing-masing perusahaan," kata Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sugiharto di Jakarta, Kamis (22/2).

Ada 15 BUMN perkebunan, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I sampai XIV dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Perusahaan ini berdiri lewat nasionalisasi pengusaha asing dan swasta pascakemerdekaan.

Menurut Sugiharto, ada beberapa sebab pemerintah mempertahankan BUMN perkebunan, yakni fungsi penyerapan tenaga kerja, mendidik petani plasma, dan bersama badan usaha milik daerah mengelola lahan tidak produktif milik pemerintah daerah.

Menurut Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini, pemerintah memang tidak mungkin melikuidasi PTPN yang sudah lama eksis. Opsi likuidasi dapat menimbulkan persoalan, misalnya pengangguran baru dan okupansi lahan negara.

Restrukturisasi harus berjalan bertahap. PTPN yang berkinerja buruk dapat digabung dengan yang baik untuk perbaikan secara bertahap. Setelah seluruh PTPN menguntungkan, pemerintah dapat mengulangi langkah tersebut sampai diperoleh manajemen yang baik. Proses bertahap ini dinilai lebih baik ketimbang memaksakan pembentukan holding BUMN perkebunan.

"Induk perusahaan (holding) hanya akan meningkatkan rentang kendali pengawasan manajemen. Apalagi semua orang tahu bagaimana pola birokrasi PTPN selama ini," kata Didik.

Sementara itu, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi Kementerian Negara BUMN Mahmuddin Yasin mengatakan, saat ini terdapat 139 BUMN yang sebagian besar kinerja dan skala usahanya sebenarnya kecil.

Sekitar 90 persen dari total aset, ekuitas, dan penjualan serta 80 persen laba bersih seluruh BUMN berasal hanya dari 22 BUMN terbesar. "Artinya, dengan jumlah ini, sebenarnya sudah cukup untuk menyumbang keuntungan bagi negara. Persoalannya, diperlukan kebijakan penataan ulang BUMN untuk menuju besaran yang efisien dan efektif dari BUMN," katanya.

Dalam kurun 2005 hingga 2009 direncanakan melakukan rightsizing, baik dengan pembentukan holding, merger, maupun akuisisi terhadap 75 BUMN menjadi 19 BUMN. Melalui kebijakan rightsizing diproyeksikan nilai tambah terhadap 19 BUMN tersebut bisa meningkat dari Rp 42,77 triliun menjadi Rp 329,09 triliun atau tumbuh 669 persen. Peningkatan nilai tambah ini, menurut Mahmuddin, lebih karena pertumbuhan anorganik.

Sementara itu, sebanyak 64 BUMN lainnya yang memiliki nilai ekuitas Rp 380,73 triliun (angka hasil audit tahun 2005), dengan asumsi pertumbuhan 20 persen per tahun, mencapai Rp 1.118,5 triliun atau meningkat 107 persen diharapkan tahun 2009. (ham/tav)

BUMN Kebun agar Dilikuidasi Saja BUMN Tambang Sebaiknya Dibentuk "Holding"

Rabu, 21 Februari 2007

Jakarta, Kompas - Rencana pemerintah mengurangi jumlah badan usaha milik negara atau BUMN dapat dimulai dari sektor perkebunan. Pemerintah sebaiknya melikuidasi BUMN sektor perkebunan yang kontribusinya rendah pada pendapatan negara dan membagikan asetnya kepada rakyat.

"Kehadiran BUMN di perkebunan tidak ada efek yang strategis karena itu harus dikaji ulang. Buat apa pemerintah merestrukturisasinya, lebih baik dibubarkan saja, lalu lahannya dibagikan pada rakyat," kata ekonom Faisal Basri yang dihubungi di Pekanbaru, Selasa (20/2).

Pemerintah memiliki 15 BUMN perkebunan, yakni PT Perkebunan Nusantara I-XIV dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. BUMN ini berdiri lewat proses nasionalisasi perusahaan swasta pascakemerdekaan RI.

Berdasarkan data Ditjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian 2006, BUMN komoditas kelapa sawit menguasai lahan seluas 696.699 hektar (ha), komoditas karet (237.869 ha), tebu untuk gula putih (80.593 ha), kakao (38.453 ha), dan kopi (26.776 ha).

Menurut Faisal, dari sejarah berdirinya BUMN perkebunan, pemerintah tidak perlu mempertahankannya lagi. Pemerintah lebih baik berkonsentrasi pada pengembangan sektor bisnis yang strategis, misalnya, industri pengembangan teknologi militer, komunikasi, dan pertambangan.

Reformasi agraria

Selanjutnya, pemerintah membagikan lahan-lahan eks hak guna usaha PTPN kepada rakyat di sekitar lokasi dalam program reformasi agraria. Untuk mencegah penerima menjual lahannya kepada pemilik modal, pemerintah harus menyiapkan satu sertifikat tanah tertutup.

"Artinya, kalau ada petani yang terpaksa menjual lahannya, maka dia hanya dapat menjual pada masyarakat di wilayahnya. Lahan yang dibagikan tidak boleh dijual pada orang di luar wilayah mereka," kata Faisal.

Secara terpisah, anggota Komisi VI dari Fraksi PDI-P, Alfridel Jinu, menyatakan, BUMN perkebunan yang tidak berkontribusi pada pendapatan negara harus segera dilikuidasi. Pembagian lahan perkebunan bagi rakyat akan meningkatkan kesejahteraan petani sehingga pertumbuhan sektor riil lebih cepat.

Penyatuan BUMN tambang

Penyatuan tiga BUMN tambang di bawah satu perusahaan induk dinilai akan memperkuat posisi pengelolaan kekayaan sumber daya mineral oleh pemerintah.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral MS Marpaung mengatakan, ide penggabungan BUMN tambang di bawah satu induk perusahaan akan menguntungkan negara.

Sesuai dengan semangat aturan pertambangan, cadangan sumber daya mineral Indonesia yang sangat besar seharusnya dikelola oleh negara. Sementara sampai saat ini aktivitas penambangan dan peleburan logam tergantung pada investor luar.

"Penggabungan tiga BUMN itu akan memperbesar kapitalisasi. Dalam posisi ini, langkah-langkah investasi dalam skala besar akan lebih mudah dilakukan. Misalnya untuk bangun peleburan logam yang sangat sulit dilakukan," kata Marpaung. Ketiga BUMN tambang adalah PT Aneka Tambang, PT Timah, dan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam. (ham/dot/tav)

Friday, April 20, 2007

Pemerintah Harus Bantu Petani Percepat Peremajaan

Rabu, 17 Januari 2007

Biaya Produksi CPO Tinggi
Jakarta, Kompas - Pengembangan kelapa sawit untuk memproduksi minyak sawit mentah atau CPO terhambat oleh ketersediaan lahan. Saat ini lahan perkebunan yang berada dalam satu titik lokasi sudah sulit diperoleh. Lahan yang terpencar-pencar menyebabkan biaya produksi CPO semakin tinggi.

Untuk menjadikan industri CPO sebagai industri primadona Indonesia, kebutuhan sarana infrastruktur dan transportasi sangatlah dibutuhkan.

Tidak optimalnya ketersediaan sarana-sarana pendukung utama itu menyebabkan produk CPO Indonesia sulit bersaing dengan negara tetangga Malaysia.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris menjelaskan hal itu di Jakarta, Selasa (16/1). Saat ini Indonesia menjadi penghasil minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Malaysia.

Produksi CPO memiliki turunan berupa industri pangan dan nonpangan. Data tahun 2005 menyebutkan, produksi CPO Indonesia mencapai rata-rata 13,5 juta ton per tahun.

Ini dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit seluas 5,5 juta hektar. Dari jumlah CPO yang dihasilkan, sekitar 5,8 juta ton (43 persen) diekspor dalam bentuk minyak mentah dan sisanya diolah untuk kebutuhan domestik.

Tahun 2010, kebutuhan untuk industri pangan diperkirakan mencapai 10,576 juta ton. Pengembangan industri berbasis CPO diarahkan untuk menghasilkan produk pangan, seperti minyak goreng, margarin, dan cocoa butter substitute.

Sedangkan produk nonpangan misalnya oleokimia primer dan turunannya seperti surfaktan, kosmetik, produk farmasi, dan bio-energi.

"Kebutuhan perluasan area bagi tanaman strategis, seperti kelapa sawit, masih menimbulkan kelangkaan lahan. Lahan yang tersedia umumnya sudah diarahkan untuk kawasan industri dan perumahan," ujar Fahmi.

Perhatian buruk

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, Alfridel Jinu, mengatakan, pemerintah terlalu berorientasi pada angka-angka peningkatan produksi yang dibuat berdasarkan asumsi dan prediksi. Misalnya, asumsi Indonesia memiliki potensi lahan atau hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit.

"Infrastruktur yang babak belur, pupuk yang terbatas, dan minimnya investasi pabrik pengolahan tandan buah segar akibat tingginya suku bunga kredit akan menyulitkan Indonesia. Padahal, kalau pemerintah mau lebih memerhatikan hal-hal tadi, dengan luas kebun yang ada sekarang, seharusnya jumlah produksi bisa dioptimalkan tanpa perlu menambah lahan baru," ujar Alfridel.

Untuk mencapai produksi sebanyak 22 juta ton CPO pada tahun 2010, dibutuhkan tambahan lahan dua hingga tiga juta hektar. Selain itu, harus ada penanaman bibit unggul dan pemupukan yang baik untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit.

Saat ini produktivitas lahan sawit menghasilkan CPO sebesar 3,4 ton. Untuk itu harus ditingkatkan menjadi 3,6-4 ton CPO per hektar per tahun.

Menurut Alfridel, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan kebun yang sudah berjalan. Langkah ini dinilai lebih efektif ketimbang membuka lahan baru.

Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia Rosediana Suharto optimistis target Indonesia menjadi produsen CPO utama dunia dapat diraih tanpa perluasan lahan.

Caranya, pemerintah harus membantu petani mempercepat peremajaan kebunnya sejak sekarang dan kemudahan memperoleh bibit sawit unggul.

Koordinator Forest Restoration and Treats Mitigation World Wild Fund-Indonesia (WWF Indonesia) Fitrian Ardiansyah mengungkapkan di Kalimantan, dari sekitar 4 juta hektar lahan yang diperuntukkan bagi kelapa sawit, hanya 2 juta hektar yang benar-benar ditanami. Sisanya tidak ditanami, hanya diambil kayunya. (ryo/ham/osa)

Limbah Sawit Bisa untuk Pupuk dan Bahan Bakar

Selasa, 09 Januari 2007

Pangkalan Bun, Kompas - Industri kelapa sawit memiliki produk sampingan yang dapat dimanfaatkan. Ampas inti sawit, misalnya, dapat digunakan sebagai pupuk. Limbah cangkang dan tandan kosong sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap.

"Limbah kelapa sawit sudah dimanfaatkan oleh masing-masing pabrik pengolahan sawit. Namun, masih tersisa banyak," kata Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk Maruli Gultom dalam peresmian proyek-proyek perusahaan tersebut di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Senin (8/1).

Jika limbah sawit dijadikan bahan bakar utama proyek pembangkit tenaga listrik, hasilnya adalah daya listrik yang murah. Menurut Maruli, pasokan listrik juga menjadi lebih stabil karena bahan bakar limbah sawit terus tersedia.

Dalam acara tersebut, Gubernur Kalteng Teras Narang meresmikan proyek pengembangan pabrik kelapa sawit berkapasitas 60 ton tandan buah segar per jam, pabrik pengolahan inti sawit, dan fasilitas tangki timbun berdaya tampung 3.500 ton.

Selain itu, diresmikan pula kebun induk dan pengolahan benih sawit berkapasitas lima juta benih per tahun, pabrik mini biodiesel, dan instalasi pusat pelatihan. "Instalasi pabrik mini ini untuk menyiapkan produksi biodiesel berbahan baku jarak pagar dalam skala komersial," kata Maruli.

Saat ini Astra Agro Lestari sedang menguji coba penanaman jarak pagar di Kalimantan Timur. Jika kebun percobaan tersebut berhasil memproduksi delapan ton biji kering per hektar per tahun, akan segera dibangun kebun untuk memasok kebutuhan pabrik biodiesel berkapasitas 150.000 ton per tahun.

Maruli menambahkan, untuk mendirikan pabrik seperti itu di Kalteng, diperlukan lahan setidaknya 50.000 hektar.

Teras Narang menuturkan, baru sekitar 23,45 persen dari empat juta hektar lebih luas lahan yang dicadangkan untuk pengembangan perkebunan di Kalteng sudah dimanfaatkan.

"Dari 300 unit (perkebunan) yang terdaftar, baru 104 unit yang sudah operasional dengan plotting area sekitar 1,7 juta hektar," katanya.

Adapun 196 unit perkebunan besar lainnya dengan areal dicadangkan sekitar 2,8 juta hektar hingga saat ini belum memulai kegiatan investasi. (CAS)

Perkebunan Sawit Belum Memberi Hasil Warga Menginginkan Perkebunan Sawit Jadi Tambang Bijih Besi

Jumat, 6 April 2007

Radar Banjarmasin
KOTABARU ,- Karena masih belum memberikan kontribusi, warga Desa Rampa dan Sungai Bali, Kecamatan Pulau Sebuku, menghendaki agar 80 hektar perkebunan kelapa sawit dialihfungsikan ke tambang bijih besi. Padahal perkebunan sawit tersebut sudah ada sejak tahun 1995 dan sudah menghasilkan tandan buah segar (TBS).

   Sebab, mesin pengelola kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO) yang telah dibangun pemerintah daerah untuk mendukung keberadaan kebun sawit di Pulau Sebuku, juga turut mubazir dan tidak digunakan sampai sekarang ini.

   "Ya karena belum ada perusahaan dan pengusaha yang sanggup membeli hasil CPO dari kebun sawit di Pulau Sebuku, sehingga ribuan TBS dibiarkan membusuk di pohon," kata Camat Pulau Sebuku Joko Mutiyono.

   Menurut Joko, keinginan masyarakat untuk alih fungsi perkebunan sawit ke tambang bijih besi cukup beralasan. Karena lahan yang ditanami kelapa sawit sekitar 80 Ha itu masuk dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT Sebuku Iron Lateric Ores (PT SILO).

   Masyarakat lebih menginginkan PT SILO bersedia mengganti rugi lahan perkebunan sawit tersebut. Namun perusahaan tambang bijih besi tersebut masih belum dapat mengabulkan keinginan warga, lantaran perkebunan kelapa sawit itu masih berkaitan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

   "Memang itu lahan masyarakat, tetapi yang memberi dana pembukaan lahan, bibit, pupuk dan perawatan kelapa sawit adalah Dinas Perkebunan. Jadi masyarakat ingin tahu berapa sih biaya yang dikeluarkan Dinas Perekebunan itu seluruhnya. Sampai saat ini antara masyarakat dan PT SILO masih belum ada kepastian, kapan negosiasi tersebut dapat segera dilaksanakan,” ujarnya.

       Sedangkan untuk besaran ganti rugi tersebut, pada awalnya warga mengendaki harga sebesar Rp350 ribu per pohon kelapa sawit, harga tanah produktif Rp4.000 per meter dan lahan tidak produktif Rp2.000 per meter. Tetapi PT SILO hanya menawar Rp75 ribu per pohon kelapa sawit, harga lahan produktif sekitar Rp1.500 per meter dan lahan tidak produktif Rp1.000 per meter.

   Sementara itu, PT SILO yang telah beberapa tahun beroperasi di Pulau Sebuku itu telah mengantongi ijin kuasa pertambangan dengan dilanjutkan ijin eksploitasi sekitar 9 ribu Ha.

   Namun untuk meningkatkan produktifitasnya di lahan yang dikuasai itu, pihak perusahaan masih harus berurusan dengan masyarakat, karena dari sebagian KP diantaranya masih dikuasi sekitar 40 kepala keluarga dan berupa perkebunan kelapa sawit. (ins)


Revitalisasi Perkebunan

Kamis, 29 Maret 2007
Radar Banjarmasin
KOTABARU,- Meski sudah dicanangkan tahun lalu, namun baru tahun ini Pemerintah Kabupaten Kotabaru siap melaksanakan program revitalisasi perkebunan. Program ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kotabaru.

"Bersamaan dengan pemerintah pusat mencanangkan program revitalisasi perkebunan, Kotabaru sudah memasukkan program tersebut dalam RPJM," ujar Bupati Kotabaru H Sjachrani Mataja dalam ekspose Program Revitalisasi Perkebunan di aula Pemkab Kotabaru, kemarin.

Pelaksanaan ekspose tersebut dihadiri Kepala Dinas Perkebunan Kalsel Ir Haryono, Asisten Pembangunan Setdakab Drs Chairansyah, Kepala Dishutbun Kotabaru Ir Hasbi M Tawab MM, para pejabat pemkab, camat, kalangan pengusaha perkebunan, dan LSM.

Program revitalisasi perkebunan, adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah, dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil.

Dalam revitalisasi nasional, ada 3 komoditas yang masuk dalan program tersebut seperti kelapa sawit, karet dan kakao (coklat). Ketiga komoditas itu mempunyai peranan sangat strategis sebagai sumber pendapatan masyarakat, mempunyai prospek pasar dalam negeri maupun ekspor, mampu menyerap tenaga kerja baru, dan mempunyai peranan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Program ini mendapat dukungan pendanaan dari lima bank pelaksana, yakni BRI, Bank Mandiri, Bukopin, BPD Sumatera Barat dan BPD Sumatera Utara. Bank-bank tersebut menerapkan bunga murah, yakni 10 persen, untuk peserta progam revitalisasi perkebunan karena ada subsidi dari pemerintah.

Menurut Kadisbun Kalsel Haryono, di Kalsel hanya komoditas kelapa sawit dan karet yang masuk program revitalisasi perkebunan, masing-masing seluas 79.000 ha dan 19.000 ha.

"Untuk Kalsel, hanya tiga kabupaten yang diikutkan program ini, yaitu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Kita berharap program ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kelompok tani, perusahaan perkebunan swasta/BUMN/BUMD. Karena program ini didukung kredit bank murah dan hanya sampai 2010," ujarnya

Bupati Kotabaru mengatakan, sejumlah kelompok petani kebun di kabupaten ini sudah lama mendambakan dukungan pemerintah terhadap percepatan pengembangan perkebunan, sejak Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) tidak mengucur lagi. Karena itu, Pemkab Kotabaru memasukkan program revitalisasi perkebunan ke dalam RPJM kabupaten ini.

Untuk mendukung revitalisasi perkebunan ini, Pemkab Kotabaru juga melakukan revisi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kotabaru, yang sudah mendapat persetujuan DPRD.

Karena itu, Bupati menyerukan kepada perusahaan perkebunan besar swasta nasional (PBSN), BUMN maupun BUMD yang ada di Kotabaru agar benar-benar memanfaatkan peluang ini, dengan melibatkan masyarakat petani kebun sekitarnya.

Sebagai tindak lanjut program ini, Bupati malah telah mengeluarkan langkah proaktif dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 188.45/50/KUM Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Pembina Pengembangan Perkebunan Kabupaten (TP3K) Kotabaru, dengan Ketua Asisten Pembangunan Setdakab Kotabaru dan Ketua Harian Kepala Dishutbun.

TP3K melibatkan pejabat Dishutbun, Setdakab, Bappeda, Distannak, Dishub, Perindagkop, BPN, Disnakertrans, BRI, GPPI, dan Kadin. Salah satu tugas tim adalah melakukan seleksi terhadap kelompok tani dan perusahaan yang direkomendasikan untuk mengikuti program revitalisasi perkebunan.(ins)

Petani Dukung Bantuan Bibit

Sabtu, 3 Maret 2007
Radar Banjarmasin

BATULICIN - Masyarakat petani di Tanah Bumbu mendukung digulirkannya program pemberian bibit karet dan kelapa sawit oleh pemerintah daerah yang terealisir sejak pertengahan tahun anggaran 2006 lalu.

Setidaknya, dengan pemberian bantuan ini, kendala para petani yang selama tidak memiliki dana untuk mengolah lahan kosong dapat jalan keluar.

“Selama ini kami sangat kesulitan dalam hal modal, meskipun keinginan untuk mengolah lahan kami yang kosong agar dapat memberikan manfaat ekonomi bagi kami sangat besar sekali,” ujar Eko, warga Desa Sepakat Kecamatan Mantewe.

“Namun sekarang, dengan digulirkannya pemberian bantuan bibit karet oleh pemerintah daerah, setidaknya masa depan petani untuk beberapa tahun kedepan dapat lebih baik,” tandasnya.

Mewakili warga Desa Sepakat, dia mengucapkan terima kasih dengan pemerintah daerah yang sudah memberikan bantuan ini untuk memperbaiki ekonomi petani di Kabupaten Tanah Bumbu. “Sebelumnya kami kesulitan mengolah lahan tidur yang ada di desa kami,” ujarnya.

Untuk diketahui, bantuan bibit karet oleh Pemkab Tanbu ini untuk tahun anggaran 2006 hingga tahun anggaran 2007, bantuan diproyeksikan bagi lahan seluas 1600 hektare.

Kemudian di tahun anggaran 2007-2008, akan dilakukan penyerahan bibit karet untuk ditanam dilahan seluas 5.000 hektare dan pada tahun anggaran 2008 hingga tahun 2009 mendatang akan ditanam pada lahan seluas 3.400 hektar.

“Saya minta, bantuan bibit ini hendaknya dapat dikelola dengan benar, sehingga dapat meningkatkan derajat ekonomi warga serta untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat “ ujar Bupati Tanah Bumbu H M Zairullah Azhar, mengingatkan kepada para petani, beberapa waktu lalu.

Eko menambahkan, dia bersama masyarakat Desa Sepakat sangat mendukung adanya program strategis yang telah dilakukan pemerintah daerah dalam rangka memperbaiki dan mengupayakan peningkatan derajat ekonomi masyarakat petani di daerah ini.

“Tentunya, hal ini sejalan dengan komitmen Bapak Bupati untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan di Tanah Bumbu. Sesuai keinginannya, tiga tahun kedepan tidak ada lagi pengangguran di Kabupaten Tanah Bumbu,” katanya. (kry)

Petani Dukung Bantuan Bibit

Sabtu, 3 Maret 2007
Radar Banjarmasin

BATULICIN - Masyarakat petani di Tanah Bumbu mendukung digulirkannya program pemberian bibit karet dan kelapa sawit oleh pemerintah daerah yang terealisir sejak pertengahan tahun anggaran 2006 lalu.

Setidaknya, dengan pemberian bantuan ini, kendala para petani yang selama tidak memiliki dana untuk mengolah lahan kosong dapat jalan keluar.

“Selama ini kami sangat kesulitan dalam hal modal, meskipun keinginan untuk mengolah lahan kami yang kosong agar dapat memberikan manfaat ekonomi bagi kami sangat besar sekali,” ujar Eko, warga Desa Sepakat Kecamatan Mantewe.

“Namun sekarang, dengan digulirkannya pemberian bantuan bibit karet oleh pemerintah daerah, setidaknya masa depan petani untuk beberapa tahun kedepan dapat lebih baik,” tandasnya.

Mewakili warga Desa Sepakat, dia mengucapkan terima kasih dengan pemerintah daerah yang sudah memberikan bantuan ini untuk memperbaiki ekonomi petani di Kabupaten Tanah Bumbu. “Sebelumnya kami kesulitan mengolah lahan tidur yang ada di desa kami,” ujarnya.

Untuk diketahui, bantuan bibit karet oleh Pemkab Tanbu ini untuk tahun anggaran 2006 hingga tahun anggaran 2007, bantuan diproyeksikan bagi lahan seluas 1600 hektare.

Kemudian di tahun anggaran 2007-2008, akan dilakukan penyerahan bibit karet untuk ditanam dilahan seluas 5.000 hektare dan pada tahun anggaran 2008 hingga tahun 2009 mendatang akan ditanam pada lahan seluas 3.400 hektar.

“Saya minta, bantuan bibit ini hendaknya dapat dikelola dengan benar, sehingga dapat meningkatkan derajat ekonomi warga serta untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat “ ujar Bupati Tanah Bumbu H M Zairullah Azhar, mengingatkan kepada para petani, beberapa waktu lalu.

Eko menambahkan, dia bersama masyarakat Desa Sepakat sangat mendukung adanya program strategis yang telah dilakukan pemerintah daerah dalam rangka memperbaiki dan mengupayakan peningkatan derajat ekonomi masyarakat petani di daerah ini.

“Tentunya, hal ini sejalan dengan komitmen Bapak Bupati untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan di Tanah Bumbu. Sesuai keinginannya, tiga tahun kedepan tidak ada lagi pengangguran di Kabupaten Tanah Bumbu,” katanya. (kry)

Thursday, April 19, 2007

Investor Kelapa Sawit Jajaki Batola Aflus Gunawan: Permudah Perijinannya

Kamis, 15 Februari 2007

Radar Banjarmasin


MARABAHAN,- Jika rencana ini berjalan mulus, maka salah satu investor, PT Agri Bumi Sentosa bakal menanamkan investasi di Kabupaten Barito Kuala. Investasi tersebut berupa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Rencana tersebut terungkap saat pertemuan antara jajaran Pemkab Batola dengan pihak PT Agri Bumi Sentosa serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Marabahan, kemarin.

Sekda Pemkab Batola Drs H Aflus Gunawan mengemukakan, pada prinsip pihaknya membuka masuknya para investor ke daerah tersebut. “Masuknya investor merupakan langkah bagus untuk pengembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Tentu rencana ini akan kita dukung. Salah satunya dengan memberikan kemudahan perijinan bagi pihak investor,” katanya.

Dikatakan, potensi Batola dalam untuk perkebunan seperti kelapa sawit masih terbuka lebar. Apalagi, masih banyak lahan yang masih kosong. Namun, ia mengingatkan pentingnya koordinasi antara pihak-pihak yang terkait dengan rencana tersebut. Khususnya dalam antisipasi bermasalahnya lahan yang bakal digarap.

Terkait soal perijinan, Aflus meminta agar tidak dilakukan lamban dan bertele-tele. Serta memakan biaya besar. “Biasanya kendala masuknya investor salah satunya karena soal perijinan ini. Saya imbau semua jajaran di Pemkab Batola agar mempermudah, tetapi tetap sesuai dengan koridor aturan yang berlaku,” tandasnya.

Rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit itu sendiri akan meliputi kawasan di 3 kecamatan, yaitu Marabahan, Wanaraya, dan Barambai, dengan luasan areal diperkirakan mencapai 11.000 hektar.

Dari luasan 11.000 hektar tersebut diharapkan lahan yang bakal ditanami pohon kelapa sawit atau areal yang sudah clear dari masalah di atas 5.000 hektar. Perkebunanan yang dimodali PT Agri Bumi Sentosa ini akan menerapkan pola inti dan plasma. Sehingga, masyarakat di sekitar areal perkebunan juga terlibat penuh. Jika beroperasi, maka perkebunanan kelapa sawit ini akan menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 2.000 orang.

Sementara itu, Asisten II Pemkab Batola Drs Milyani mengemukakan, untuk menjaga komitmen dan kepastian rencana investasi tersebut, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan nota kesepahaman.

“Pentingnya nota kesepahaman antara Pemkab Batola dan PT Agri Bumi Sentosa ini adalah untuk menjaga komitmen dan kepastian terhadap rencana investasi tersebut. Selain itu, juga ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat. Misalnya, bagaimana komitmen perusahaan terhadap infrastruktur jalan, jaminan kesinambungan investasi,” kata Milyani.

Menurutnya, adanya nota kesepahaman tersebut bukan berarti Pemkab Batola mempersulit investor yang mau masuk. Namun, justru dengan adanya ikatan tersebut bisa menjadi acuan dan kepastian untuk kedua pihak.(tri)


Friday, April 13, 2007

Perusahaan Sawit Wajib Punya Amdal

Sabtu, 3 Februari 2007

Radar Banjarmasin, RANTAU- Bagi investor kelapa sawit yang ingin atau sudah masuk ke Kabupaten Tapin diminta untuk membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sebelum beroperasi di Bumi Ruhui Rahayu.

Hal itu ditegaskan Kepala Dinas Tenaga Kerja Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup Kabupaten Tapin, Drs Syamsul Huda MAP, saat rapat koordinasi , beberapa waktu lalu. “Sudah menjadi ketentuan dan Undang-Undang, bahwa setiap perusahaan yang ingin memulai suatu usaha harus membuat Amdal. Meski perusahaan sudah mengantongi izin usaha, tapi kalau belum punya Amdal, lebih baik jangan beroperasi dulu. Mengingat Amdal ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi sebuah perusahaan,” ujar Syamsul.

Syamsul khawatir, jika peusahaan yang belum memiliki Amdal sudah melakukan operasi, maka pelaksanaan teknis di lapangan tidak sesuai dengan Amdal yang sudah dibuat. Hal ini tentu sangat bertentangan, dan tidak hanya merepotkan perusahaan, tetapi masyarakat di sekitar lokasi perkebunan sawit ikut protes.

Dalam Amdal disebutkan, kata Syamsul, soal jarak lahan perkebunan sawit dengan sungai atau dengan pemukiman penduduk mencapai 3 kilometer hingga 4 kilometer.

“Jadi, investor kelapa sawit yang sudah mengantongi izin, diminta untuk bersabar dulu. Sebab Amdalnya harus selesai dulu dibikin. Semakin cepat amdal yang maka semakin cepat juga perusahaan beroperasi di Tapin, “ saran Syamsul.

Hingga saat ini, tambah Syamsul, sudah ada 3 perusahaan yang mengantongi izin usaha lokasi dengan total mencapai 49 ribu hektar. Adapun lokasi yang mencakup 4 kecamatan, yakni Kecamatan Tapin Tengah, Tapi Selatan, Candi Laras Utara, dan Candi Laras Selatan.

“Saat ini ketiga perusahaan sedang dalam proses registrasi lahan dan pencatatan lahan, yang diwajibkan lapor ke Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan penggunaan lahan yang diperoleh. Termasuk mengurus soal izin HGU. Perusahaan tersebut juga diminta untuk membuat laporan 6 bulan sekali dan mereka sudah memasukkan laporan pertama di bulan November 2006,” kata Syamsul.(nti)


Tanbu Kaya SDA

Sabtu, 27 Januari 2007
Radar Banjarmasin, BATULICIN - Kabupaten Tanah Bumbu memang dikenal memiliki potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Hanya saja, dari sekian banyak potensi itu, belum semuanya dapat digali secara optimal.

Nah, berkaitan akan hal itu, Bupati Tanah Bumbu H M Zairullah Azhar, mengajak kepada seluruh masyarakat Desa Sepakat agar dapat memberdayakan dan menggali sumber daya alam yang tersedia secara optimal.

“Jika dapat digarap dengan optimal, segala sumber daya alam yang kita miliki saat ini mampu mendorong percepatan pembangunan daerah. hingga pada gilirannya nanti akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Bumi Bersujud,” ujarnya.

Untuk mewujudkan hal itu memang tidak mudah. Diperlukan upaya guna mengolah potensi yang ada tersebut untuk dijadikan sebagai sebuah potensi yang mampu menggerakan roda perekonomian masyarakat.

“Potensi yang ada itu harus kita sinergikan sehingga antara kedua potensi itu dapat saling memenuhi sebagai bagian dari pemberdayaan yang utuh atas potensi daerah,” ajaknya.

Berpijak pada kenyataan itu, menurut Mantan Kadinkes Provinsi Kalsel ini, pemerintah daerah telah mencanangkan dan memprogramkan sebuah kebijakan yang mengandung nilai human interes yang tinggi, yakni program bantuan bibit karet dan kelapa sawit.

“Melalui program ini, harapan kita akan terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan tentu saja berimplikasi terhadap berkurangnya angka pengangguran di Tanbu,” ujar Bupati.

Agar harapan itu dapat terwujud, Bupati mengharap kerja keras dari semua pihak, baik itu pemerintah daerah melalui dinas dan instansi tekhnis maupun aparat desa dan kecamatan, termasuk seluruh warga desa. Sebab, tanpa adanya kerja sama yang baik serta koordinasi yang matang sangat mustahil apa yang hendak dicapai itu dapat terwujud.

“Mari, kita bekerja keras, berkomitmen dan konsisten dalam melaksanakan program ini,” ajak Bupati. (kry)

Thursday, April 12, 2007

Investasi Perkebunan Terkendala Hutan

Kamis, 12 April 2007 01:40

* Pemprov berencana kembangkan HTR dan HTI

Tanjung, BPost
Upaya pemerintah daerah menggalakkan investasi di sektor perkebunan dan pertanian menghadapi kendala status sebagian besar lahan yang merupakan hutan lindung atau hutan produksi. Padahal banyak investor yang berminat di sektor tersebut.

Karena itu konsep penyusunan tata ruang provinsi (RTRWP), pemerintah akan mengidentifikasi ulang lahan hutan yang dapat dikonversikan menjadi lahan produksi.

Sebaliknya juga akan dilakukan pendataan lahan produksi yang tidak produktif untuk dijadikan hutan kembali. Hal ini terungkap pada rapat koordinasi kepala daerah se-Kalsel ke-I 2007 di Pendopo Bersinar Pembataan, Tanjung Tabalong, Rabu (11/4).

Hadir pada rapat itu Gubernur Kalsel, Rudy Ariffin dan sejumlah kepada daerah kabupaten/ kota se Kalsel.

"Di lapangan saya sering dengar adanya tabrakan antara dinas, seperti pertambangan dengan perkebunan dalam hal penggunaan lahan. Karena itu dalam perda tata ruang perlu koordinasi pemerintah agar bisa diselaraskan," kata Rudy Ariffin saat membuka rapat tersebut.

Menurut Rudy, dengan penyelarasan itu tidak menutup kemungkinan adanya revisi perubahan tata ruang pembangunan di Kalsel, khususnya di kawasan hutan. Pemerintah berencana mengembangkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Namun ia menegaskan hal itu tidak akan mengubah kebijakan nasional terkait pemberantasan pembabatan hutan dan pembakaran lahan atau hutan. Langkah itu sebagai salah satu cara pemerintah menggalakkan investasi, untuk mengurangi kenaikan pengangguran dan angka kemiskinan akibat ambruknya industri perkayuan.

Untuk menggalakkan investasi, Rudy menyatakan telah meminta BKPM menyusun bestek dan paket investasi riil guna memudahkan investor. Selama ini investor terkesan tanpa guidance pemerintah, sehingga rentan penipuan.

"Investasi PMA dan PMDN ada, tapi tidak seperti yang diharapkan. Yang masuk paling sekitar 20-30 persen dari yang diharapkan," tambahnya.

Bupati Tabalong, H Racmah Ramsyi menyatakan mendukung rencana pemprov merevisi tata ruang kawasan hutan. Dalam waktu dekat pihaknya juga akan mengajukan perubahan RTRWK kawasan hutan di Kabupaten Tabalong. nda

Copyright ? 2003 Banjarmasin Post

Wednesday, April 11, 2007

Sebulan Dana Perkebunan Cair

Rabu, 11 April 2007 02:32

* Bank Mandiri-Makin Group tandatangani MoU

Banjarmasin, BPost
PT Bank Mandiri dan perusahaan inti plasma Makin Group melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk penyediaan kredit Pengembangan Energi Nabati-Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) kelapa sawit di Kalsel, Senin, (9/4).

Proses penandatanganan nota kesepahaman dilakukan di PG Pelaihari, Kabupaten Tala yang disaksikan pihak Dirjen Perkebunan dan pemerintah daerah setempat.

"Setalah dilakukannya MoU yang pertama untuk revitalisasi perkebunan di Kalsel ini, maka kredit dipastikan cair sebulan lagi," kata Marwan Budiarsyah, Group Head Regional Network Group Bank Mandiri di Hotel Rattan Inn Banjarmasin, kemarin (10/1)

Untuk Kalsel, jelasnya, kredit yang akan dikucurkan sebesar Rp932,7 miliar, Kalteng sebesar Rp2,4 triliun, Kaltim Rp2,8 triliun dan Kalbar Rp2,3 triliun," kata Marwan.

Dalam pelaksanaannya, jelasnya, setelah petani plasma menghasilkan dibeli oleh perusahaan inti, kemudian perusahaan inti yang mengangsur kredit ke Bank Mandiri.

"Kalsel luas lahan yang akan biayai mencapai 24.000 hektare, Kalteng seluas 72.400 hektare, Kaltim seluas 70,216 hektare dan Kalbar 79.506 hektare," kata Marwan didampingi Arry Basuseno, Senior Vice President Bank Mandiri Regional IX Kalimantan dan Hadiyono, Kepala Cabang Bank Mandiri Banjarmasin, kemarin. (10/4).

Dikatakan Marwan, sampai 5 April lalu kredit yang dikucurkan mencapai Rp494 miliar dengan luas lahan 15.317 hektare atas nama 12 Koperasi Unit Desa.

"Sementara untuk sembilan provinsi di Indonesia periode 2007-2010 kredit yang dikucurkan sebanyak Rp11 triliun dengan luas lahan 321.268 hektare," jelas Marwan. Selain membiayai revitalisasi perkebunan, kata dia, kredit terbesar dikucurkan untuk infrastruktur, seperti pembangunan jalan, listrik, PDAM dan fasilitas umum lainnya.

"Untuk 2006 kredit yang dikucurkan Rp109 triliun naik 14 persen dibandingkan 2005 yang hanya Rp100 triliun. Sedang laba Mandiri sebesar Rp600 miliar naik 300 persen dari 2005," kata Marwan. tri

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Wednesday, April 04, 2007

300 Hektare Kebun Diremajakan

Sabtu, 31 Maret 2007 03:42

Kotabaru, BPost
Pemerintah pusat menetapkan Kotabaru sebagai daerah pengembangan kelapa sawit bersama Tanah Bumbu (Tanbu) dan Tanah Laut (Tala).

Kepala Dinas Perkebunan Kalsel Haryono, mengatakan, Kotabaru memiliki potensi besar di bidang kelapa sawit, apalagi 12 perusahaan sawit telah berdiri di daerah itu.

Menurutnya, sesuai Peraturan Menteri Pertanian No 23/2006 tentang revitalisasi perkebunan maka secara nasional perkebunan sawit yang akan diperluas dan peremajaan sebanyak 1,5 juta hektare.

Selebihnya, perkebunan karet 300 ribu hektare dan kakau 200 ribu hektare.

"Untuk revitalisasi perkebunan sawit Kotabaru termasuk karet dan kakau seluas 15 ribu hektare ditargetkan pencapaiannya hingga 2010," katanya.

Pola bantuan, kata dia, akan dicarikan alternatif dengan suku bunga yang rendah misalnya menggunakan kredit koperasi primer.

Menurutnya, untuk menunjang terwujudnya revitalisasi, Pemprov Kalsel sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah bank komersial.

Bupati Kotabaru Sjachrani Mataja, mengatakan, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang hingga 2010 pengembangan perkebunan memang akan digalakkan.

Kebijakan revitalisasi, kata dia, sangat membantu, namun revisi tata ruang kehutanan yang dilontarkan Menhut tahun lalu bisa menjadi kendala.

"Kita akan mengajukan pertimbangan kepada Bappenas dan Departemen Kehutanan RI meminta kewenangan kawasan hutan dikembalikan pengelolaannya kepada daerah sebagai daerah otonom. Apabila tidak, maka tidak menutup kemungkinan sejumlah investor perkebunan yang akan masuk ke wilayah kita terhambat," katanya.

Menurutnya, Pemkab Kotabaru akan membantu dalam hal mendapatkan bantuan pinjaman lunak bagi petani perkebunan yang siap mengelola usaha perkebunan. dhs

Sawit Tak Menghasilkan

Jumat, 30 Maret 2007 01:17

Kotabaru, BPost
Petani kelapa sawit di Desa Rampa, Desa Sungai Bali dan Desa Tanjung Mangkok, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru berencana menjual lahan mereka ke penambang bijih besi. Sebab, meski menghasilkan tak satu pun perusahaan yang mau menampung sawit warga.

Camat Pulau Sabuku Joko Mutiyono, mengatakan, lahan masyarakat yang akan dijual tersebut seluas 80 hektare dan ditanami sawit sejak 1995.

Menurut Joko, setiap musim panen hasil sawit melimpah. Karena tak ada perusahaan yang menampung, buah sawit dibiarkan warga membusuk.

"Warga mulai resah dan ingin menjual lahan tersebut kepada PT Silo yang bergerak di bidang pertambangan bijih besi," katanya, Kamis (29/3).

Penanaman sawit di lahan warga itu merupakan program Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kotabaru. Warga, kata Joko, siap memberikan 10 persen hasil penjualan kepada Pemkab Kotabaru sebagai ganti rugi atas penanaman sawit itu.

"Pertemuan membahas harga tanah dengan PT Silo sudah beberapa kali dilaksanakan, tapi belum ada kata sepakat," katanya.

Warga, kata dia, menawarkan kepada PT Silo setiap pohon kelapa sawit dihargai Rp350.000 dan tanah permeternya Rp4.000. Setiap hektare berisi 120 pohon kelapa sawit.

Sementara, perusahaan menawar dengan harga Rp75 ribu setiap pohon dan tanah aktif senilai Rp1.500 per meter dan yang tidak produktif Rp1.000 per meter.

"Saya sudah menyampaikan hal ini kepada bupati. Kata dia tunggu hasil penghitungan dahulu," katanya. dhs

Pemkab Belum Realisasi Perkebunan

Rabu, 28 Maret 2007 01:43

* Atasi Penebangan Hutan

Tanjung, BPost
Rencana pemerintah mengurangi pembabatan hutan dengan memberikan alternatif mata pencaharian melalui program perkebunan dan pertanian kepada warga Desa Lano dan Solan Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong, belum juga direalisasikan.

Padahal lahan sekitar 700 hektare (ha) telah disiapkan di Gunung Uwa dan Sungai Selangai untuk ditanami karet dan sawit. Dinas Kehutanan (Dishut) dan Dinas Perkebunan (Disbun) hingga kini mengaku belum melakukan upaya rintisan guna mewujudkan hal itu.

"Kalau soal bibit dan melatih orangnya berkebun kita siap saja. Tapi kepastian lahannya belum ada. Kalau itu kewenangannya Dishut," kata Kadisbun Tabalong, M Saleh.

Kadishut Tabalong, H Saepudin justru mengatakan tidak tahu menahu soal rencana itu. Ia mengatakan tidak pernah menjanjikan pengubahan lahan yang masuk kawasan hutan menjadi areal perkebunan.

"Saya tidak pernah menjanjikan hal itu. Bahkan saat pertemuan (di Garagata) saya tidak hadir," ujarnya, Selasa (27/3)

Saepudin mengatakan, menjadikan lahan kawasan hutan menjadi perkebunan harus ada izin Menteri Kehutanan. Kendati demikian, ia menyatakan tetap berupaya memberikan alternatif pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada masyarakat secara legal.

Salah satunya dengan program reboisasi pusat melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Setiap kepala keluarga diizinkan menggarap lahan kawasan hutan maksimal 15 ha yang hanya ditanami kayu hutan. Untuk 1 ha lahan diberikan kredit Rp8 juta secara bertahap.

Pihaknya telah melakukan survei dan penawaran kepada warga yang tinggal dekat kawasan hutan seperti Desa Kitang Kecamatan Tanjung, Desa Burum Kecamatan Bintang Ara dan Santu’un Kecamatan Muara Uya. Rencananya juga akan ditawarkan ke beberapa desa lain termasuk kepada masyarakat Desa Lano Kecamatan Jaro.

Selama ini warga diberi kelonggaran mengambil kayu dengan catatan digunakan untuk pasar lokal. Kenyataannya mereka malah menjual keluar daerah. Ketua DPRD Tabalong, H Muchlis mengatakan segera memanggil instansi terkait seperti Dishut dan Disbun terkait masalah tersebut. nda

Nasib Rawa Pascakonversi Sawit

Rabu, 28 Maret 2007 01:26

Oleh: Hamdani Fauzi
Dosen Fakultas Kuhutanan Unlam

Beberapa waktu lalu dalam berbagai kesempatan, petinggi di Kabupaten Tapin mengemukakan rencana untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar di wilayahnya. Pemkab pun berani mencadangkan tidak kurang 70 ribu hektare dari 110 ribu hektare lahan rawa di Tapin, sawit yang tersebar di empat kecamatan yakni Tapin Selatan, Candi Laras Selatan, Candi Laras Utara dan Bakarangan. Dengan luasan itu, perusahaan bisa membangun empat unit pabrik guna mengolah buah tendan segar kelapa sawit.

"Apabila rencana pengembangan kelapa sawit seluas 70 ribu hektare itu terealisasi, akan membuka lapangan kerja baru bagi warga Tapin dan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat," kata bupatinya.

Diperkirakan, untuk membudidayakan kelapa sawit seluas 20 ribu hektare saja mampu menyerap 9.000 tenaga kerja. Angka yang cukup fantastis dan memberi angin segar bagi pencari kerja yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bisa dibayangkan dampak yang akan dirasakan masyarakat. Dari mereka yang bekerja di perkebunan dan industri kelapa sawit, timbulnya kesempatan kerja dan berusaha misalnya dengan membuka warung dan toko sembako, peningkatan daya beli masyarakat, pembangunan infrastruktur wilayah seperti jalan, tempat pendidikan, pasar, dan fasilitas lain yang pada intinya perekonomian di Tapin khususnya akan semakin bergairah termasuk peningkatan PAD.

Sampai pada tataran ini, saya mengacungkan jempol atas kebijakan populis Pemkab Tapin di bawah kepemimpinan Drs H Idis Nurdin Halidi MAP dalam membangun daerahnya dengan memanfaatkan 60 persen lahan rawa yang belum tergarap. Walaupun seorang warga Desa Margasari Ulu dan pengamatan saya, sinyalemen lahan rawa belum tergarap seratus persen karena sering dimanfaatkan warga untuk meramu kayu galam, memancing ikan dan usaha lainnya.

Dampak Ekologis

Barangkali menjadi kelaziman, pembangunan apa pun bentuknya lebih mengedepankan aspek ekonomi secara luas dibandingkan ekologi dan ini terjadi sejak dulu hingga sekarang walaupun dalam porsi berbeda. Tengoklah pembangunan gedung pencakar langit di Jakarta, tempat hiburan dan hunian bagi kalangan the have menjamur di mana-mana, sehingga ruang terbuka hijau dan daerah resapan air semakin berkurang. Ini membuktikan persoalan ekologis tidak jarang termarginalkan.

Bagaimana dengan konversi hutan dan lahan rawa untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit di Tapin? Rawa merupakan kawasan tergenang air yang penggenangannya dapat bersifat musiman atau permanen, dan ditumbuhi tumbuhan (vegetasi). Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati. Jenis floranya antara lain durian burung, ramin, terentang, galam, pantung, rotan, pandan, rumbia, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Di daerah ini vegetasi yang paling menonjol adalah galam. Bahkan menurut Soendjoto (2002), bekantan (nasalis larvatus) juga terdapat di lahan rawa Tapin baik di rawa air tawar maupun rawa galam.

Sekadar mengingatkan, primata ini termasuk satwa dilindungi dan oleh Pemprop Kalsel ditetapkan sebagai maskot propinsi. Secara internasional, primata ini dikategorikan rentan dalam IUCN dan dimasukkan dalam Appendix I CITES. Sebelum dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit saja, populasi bekantan di Margasari semakin terjepit dan terpinggirkan.

Di samping bermanfaat sebagai habitat bekantan, hutan rawa berperan sebagai sumber cadangan air, menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya serta dikeluarkan saat daerah sekitarnya kering. Rawa, sangat strategis dalam mengatur air dan mencegah terjadinya banjir.

Hutan rawa pun dapat mencegah intrusi air laut ke dalam tanah dan sungai, berperan sebagai sumber energi, media semai dan sumber makanan hewani maupun nabati. Galam sebagai salah satu vegetasi yang terdapat di hutan rawa sejak dulu dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan baku industri penggergajian (papan, balok, reng) dan cerucuk (pondasi bangunan dan rumah di lahan rawa).

Akibat konversi hutan rawa untuk perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, berbanding lurus dengan penciutannya dalam jumlah besar pula. Implikasinya adalah terjadinya disfungsi hutan rawa, kerawanan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Pengalaman di Kecamatan Gambut dan Aluh-Aluh, dulu identik dengan hutan gambut yang ditumbuhi galam kini sangat berkurang akibat konversi untuk pembangunan perumahan dan toko. Areal terbuka di hutan gambut dan rawa membuat daerah itu selalu terbakar saat kemarau dan banjir di musim penghujan.

Walaupun hujan tidak terlalu deras namun mampu menggenangi areal di daerah hilir, karena gambut dan rawa yang rusak mudah jenuh oleh air. Belum lagi pengalaman Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare yang ternyata tidak berhasil, bahkan terbukti berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial kemasyarakatan.

Secara umum dampak negatif yang perlu diantisipasi dari aktivitas perkebunan kelapa sawit di antaranya: Pertama, penanaman kelapa sawit cenderung monokultur, homogenitas dan overloads konversi yang berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati; Kedua, pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu. Kita pun mafhum pada dampak kebakaran; Ketiga, kerakusan unsur hara dan air. Dalam satu hari, satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter; Keempat, berpotensi munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi (Sawit Watch, 2007).

Kalau dalam suatu kesempatan Pak Bupati berkata: "Untuk seluruh warga Tapin, ulun mohon doa dan dukungannya, mudah-mudahan proses penanaman kelapa sawit hingga produksi nantinya bisa berjalan dengan baik dan lancar. Kita berharap, lewat penanaman sawit ini bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warga Tapin, terutama masyarakat yang ada di sekitar areal kelapa sawit tersebut," maka, melalui rubrik ini sebagai urang banua saya berharap pengembangan kelapa sawit nantinya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan pranata sosial kehidupan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada usaha per-galam-an. Semoga tidak menjadi blunder!

e-mail: danie_bastari@yahoo.co.id

Lahan Sawit Hanya 10.000 Hektare

Minggu, 25 Maret 2007 03:17

Palangka Raya, BPost
Instruksi Presiden (Inpres) rehabilitasi dan revitalisasi kawasan Eks Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah hanya mengizinkan kawasan perkebunan kelapa sawit sebesar 10.000 hektare dari 1,4 juta hektare luas PLG.

Dalam rapat koordinasi antara Gubernur Kalteng Teras Narang beserta unsur Muspida dan seluruh kepala dinas di Provinsi Kalteng dan bupati se-Kalteng tentang sosialisasi Inpres PLG No 2/2007, Sabtu (23/3), terungkap kawasan Eks PLG yang dicadangkan untuk penanaman sawit hanya 10.000 hektare, sisanya untuk pertanian, perikanan dan kawasan hutan rakyat.

Data yang tertuang dalam salinan Inpres No 2/2007 secara rinci disebutkan pengembangan perkebunan meliputi, perluasan dan rehabilitasi tanaman karet dengan luas areal sebesar 7.500 hektare pada blok B, rehabilitasi tanaman kelapa seluas 5.000 hektare pada blok A dan C, perkebunan sawit seluas 10.000 hektare pada blok A dan B sedangkan untuk tanaman purun seluas 200 hektare pada blok A serta tanaman kopi 200 hektare pada blok A.

Dengan demikian, 12 perusahaan sawit yang telah mendapatkan izin prinsip bupati untuk beroperasi di kawasan PLG dengan luasan mencapai 317.100 hektare dipastikan tidak akan terwujud akibat terbatasnya kawasan.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Kalteng HM Asera, Sabtu (24/3) menegaskan, izin prinsip yang telah dikeluarkan bupati terhadap 12 perusahaan kelapa sawit untuk berinvestasi di kawasan PLG harus dicabut karena tidak sesuai dengan persediaan lahan yang ditetapkan Inpres tersebut.

Alasanya kata dia, sesuai data Inpres No 2/2007 secara jelas disebutkan, dari 1,4 juta hektare kawasan yang akan di rehabilitasi, khusus untuk tanaman sawit hanya 10.000 hektare.

"Dalam tabel Inpres No2/2007 sudah secara jelas disebutkan kawasan PLG yang diperuntukan untuk tanaman sawit hanya 10.000 hektare," ujarnya.

Dengan demikian lanjut dia, dari 12 perusahaan yang telah memiliki izin prinsip dari bupati harus hengkang dari kawasan itu.

Paling tidak katanya, bupati harus mencarikan kawasan lainnya untuk menggantikan kawasan yang hilang di PLG tersebut.

Sebelumnya Gubernur Kalteng Teras Narang mengatakan, bersama bupati segera mengevaluasi 12 perusahaan sawit yang telah memiliki izin operasi di kawasan PLG. tur

Sawit Di PLG

Jumat, 23 Maret 2007 04:39
TAJUK

BELUM lagi rehabilitasi dan revitalisasi eks proyek lahan gambut (PLG) di Kalteng dimulai, protes terhadap kelanjutan megaproyek yang dihentikan di era pemerintahan Presiden BJ Habibie itu mulai menggema.

Kabar masuknya sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di lokasi itu, menjadi penyulut utama kalangan pecinta lingkungan di Bumi Tambun Bungai mengkritisi kelanjutan proyek tersebut.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng mencatat, saat ini 13 perusahaan perkebunan besar (PBS) sawit yang mendapatkan izin berinvestasi di eks lokasi PLG.

Anehnya, 13 perusahaan itu mengincar eks PLG di Kapuas sebagai perkebunan sawit. Padahal, Kapuas merupakan lumbung padi Kalteng dan di kabupaten ini pula Presiden Susilo Bambang Yudhyono mencanangkan kelanjutan rehabilitasi dan revitalisasi eks PLG.

Jika 13 perusahaan itu jadi berinvestasi, budidaya pertanian padi eks PLG di Kabupaten Kapuas kemungkinan tidak ada tempat lagi. Bahkan, bisa jadi perkebunan sawit itu merembet ke kawasan pertanian yang sudah ada.

Mengapa. Di lokasi itu pemerintah hanya mencanangkan 300 ribu hektare lahan untuk budidaya pertanian. Sedangkan izin yang telah dikeluarkan Pemkab Kapuas untuk perkebunan kepala sawit sekitar 317 hektare.

Memang, lahan eks PLG cukup luas mencapai 1,4 juta haktare. Tapi, Presiden Yudhoyono mengizinkan hanya 300 hektare untuk budidaya pertanian. Sementara sisanya seluas 1,1 haktare tak boleh diganggu gugat, karena akan dijadikan kawasan konservasi.

Direktur Eksektif Walhi Kalteng Satriadi memperkirakan, izin yang diperoleh 13 perusahaan perkebunan sawit tersebut sebelum pemerintah pusat mengeluarkan keputusan revitalisasi dan rehabilitasi eks PLG.

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang pun langsung bereaksi atas temuan itu. Ia memerintahkan bupati untuk menginventarisasi 13 perusahaan yang telah mendapatkan izin untuk berinvestasi di eks PLG tersebut.

Keinginan pecinta lingkungan hidup agar pemerintah meninjau kembali perizinan perkebunan kelapa sawit di eks PLG, patut dipertimbangkan. Memang, di satu sisi masuknya investasi membuka lapangan usaha baru dan menjadi sumber devisa bagi daerah. Namun dampak di sisi lain harus dipikirkan.

Apalagi menurut Koordinator Wetlands Internasional Kalimantan, lahan gambut kurang cocok untuk perkebunan kelapa sawit. Memerlukan biaya mahal, karena membutuhkan perlakuan khusus agar sawit tetap subur.

Tentu semua tak menginginkan perusahaan hanya melakukan kavling lahan, sementara janji investasi tak terlaksana. Kalau itu terjadi, pemerintah tak bisa memaksakan kehendak agar perusahaan itu segera beroperasi. Mencabut izin itu kembali, tentu tak mudah karena memerlukan proses panjang dan berbenturan dengan persoalan hukum.

Tentu pemerintah daerah tak ingin kasus pengalihan izin yang telah didapat perusahaan asing sebagaimana terjadi di sejumlah kawasan perkebunan kelapa sawit di Kalteng seperti Seruyan dan Kotawaringin Timur (Kotim), kembali terjadi.

Jika ingin investasi kelapa sawit tetap ada di kawasan itu, pemerintah daerah sebaiknya menginventarisasi kembali lokasi yang cocok untuk tanaman itu sehingga pertanian tanaman pangan yang merupakan tujuan utama pembukaan PLG tetap punya tempat.