Thursday, January 31, 2008

Monokultur Kelapa Sawit Penuh Resiko

Selasa, 8 Januari 2008


(Ditinjau dari Sudut Hama dan Penyakit Tanaman)

DR Ir Ismed Setya Budi MS dan DR Ir Mariana MP *)

Perkebunan kepala sawit yang luas sejauh mata memandang bukan lagi hal yang aneh di Kalimantan Selatan atau daerah lainnya di Indonesia. Komoditas ini pula lah yang menjadikan Indonesia dapat berbangga diri karena bisa menjadi produsen utama terbesar minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dunia dengan produksi 15,9 juta ton pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 sudah bisa mencapai lebih dari 17,2 juta ton.

Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi pembangunan pertanian khusus kelapa sawit yang sungguh fantastis kita alami pada dekade lima tahun terakhir. Dapat dibayangkan hanya sampai tahun 2006 di Provinsi Kalimantan Selatan sudah terdapat 62 perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit yang telah mendapat izin pemerintah dengan luas garapan sebesar 476.685 hektare. Jumlah ini tentunya belum termasuk perkebunan yang dikelola masyarakat secara perorangan. Yakinlah jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan janji kelapa sawit yang terus mengiurkan bagi investor lokal maupun luar negeri. Berdasarkan hitung-hitungan di atas kertas, jelas keuntungan yang diperoleh dari penanaman kelapa sawit akan diraup hanya dalam jangka waktu kurang dari lima tahun, apalagi ditambah asumsi bahwa harga minyak mentah sawit (CPO) terus merangkak naik dari waktu ke waktu. Tidak aneh tentunya keadaan ini membuat semua investasi ingin diarahkan ke kelapa sawit, dari masyarakat awam hingga perbankan pun tergoda untuk berlomba ikut ambil bagian dalam pengembangan kelapa sawit yang penuh pesona.

Pengembangan sistem monokultur secara besar-besaran ini didukung pula oleh berita suksesnya kelapa sawit di negara tetangga seperti Malaysia dan ditambah berbagai kemudahan bagi investor yang diberikan pemerintah daerah, serta adanya prediksi kebutuhan kepala sawit dunia kedepan akan terus bertambah besar, sehingga menjanjikan untuk terus dikembangkan. Pemikiran ini semua tentunya tidak salah, apalagi kalau hanya dilihat secara sempit pada aspek keuntungan. Padahal semuanya akan berhubungan satu dengan lainnya, saling kait mengkait. Dibalik keuntungan yang terbayang didepan mata, apakah sudah diperhitungkan pula kendala besar yang kemungkinan akan memusnahkan angan-angan tadi? Baik itu berupa kerugian yang bersifat langsung maupun secara tidak langsung yang akan seluruh masyarakat kita rasakan.

Sudah sering kita dengar komentar berbagai pihak tentang dampak negatif dari monokultur kelapa sawit seperti musnahnya kekayaan alam berupa keanekaragaman hayati, deforestasi dan penghancuran ekosistem lain yang penting dalam pengaturan iklim atau hilangnya hak asasi masyarakat adat. Namun sayangnya dampak ini semua selalu dianggap enteng dan dibiarkan keresahan ini hilang ditelan bumi karena memang manusia saat ini belum merasakan kerugiannya.

Ada satu hal yang juga terlupakan atau memang sengaja diabaikan, bahwa dampak dari sistem penanaman monokultur secara luas yang terkait langsung dengan hilangnya kekayaan berupa keragaman hayati adalah akan munculnya hama dan penyakit utama pemusnah tanaman kelapa sawit. Ancaman wabah hama dan penyakit tanaman ledakannya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, karena kelapa sawit juga mempunyai banyak musuh berupa hama dan penyakit yang akan muncul sebagai masalah besar apabila didukung kondisi lingkungan. Gangguan hama dan penyakit ini pasti akan terjadi akibat terganggunya keseimbangan alam karena musnah atau berkurangnya keragaman hayati berupa agens antagonis yang dapat berperan untuk menghambat laju perkembangan hama penyakit di lahan secara alami. Apabila suatu lahan sudah mulai terserang hama dan penyakit maka akan sulit untuk dikendalikan dan bahkan dapat dipastikan kecenderungan akan bertambah parah seiring dengan perjalanan waktu dengan makin bertambah banyaknya tanaman yang hancur. Oleh sebab itu, sebelum semuanya terjadi maka tindakan pencengahan sedini mungkin adalah langkah yang paling tepat dibanding mengobati tanaman setelah terserang hama penyakit. Prinsip dasarnya, kita tidak mungkin menyembuhkan tanaman yang sudah sakit dan bahkan ini akan menjadi sumber infeksi primer penyakit bagi tanaman di sekitarnya atau lahan lainnya. Ini pulalah yang mengkhawatirkan dengan sistem monokultur yang mengakibatkan pengendali alamiah tidak mampu berperan dengan baik, karena secara teori, makin kecilnya keragaman akan mengakibatkan semakin pendeknya rantai makanan yang akibat selanjutnya akan mudah terjadi gangguan pada keseimbangan ekosistem seperti kondisi di lahan monokultur kelapa sawit. Dengan demikian timbulnya serangan hama dan patogen yang hebat juga akibat pengendali alamiah di lahan yang tidak berperan karena hilangnya keragaman hayati berupa agens antagonis di lahan.

Sebagai perkebunan yang relatif muda, perkebunan kelapa sawit yang diawali pada tahun 1911 di Sumatera Utara dan baru meningkat pesat setelah tahun 1970, ternyata intensitas penyakit utama berupa busuknya pangkal batang akibat jamur patogen Ganoderma spp terus meningkat dari waktu ke waktu yang makin sulit diatasi. Adanya patogen ini sangat mengganggu proses produksi tanaman dan tentunya akan menambah biaya produksi yang tidak sedikit unutuk mengendalikannya. Sampai sekarang intensitas tanaman sakit terus meningkat karena makin luasnya areal penanaman dan akumulasi dari patogen yang terus menerus bertambah. Demikian pula halnya yang akan terjadi dipertanaman kelapa sawit di daerah kita karena sumber infeksi berupa inokulum patogen Ganoderma spp pasti sudah ada pula di lahan kelapa sawit kita karena terbawa lewat kontaminasi bahan perbanyakan tanaman dan patogen ini mempunyai banyak tanaman inang alternatif (44 spesies), diantaranya kalapa, pinang dan sengon, serta patogen mampu bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu lama. Penyakit lainnya yang juga tidak kalah ganasnya adalah busuk batang atas akibat jamur Fomes noxius, busuk tandan akibat Marasmius palmivorus, busuk daun corticium akibat Corticium solani, penyakit yang menyerang saat pembibitan seperti Botryodiplodia, Melanconium, Phytium, Rhizoctonia dan Glomerella. Semua penyakit ini tidak bisa dianggap remeh karena mampu memusnahkan tanaman kelapa sawit dalam waktu singkat tanpa diduga apabila kita lengah.

Banyaknya kita kehilangan keragaman hayati ini juga merupakan kerugian masa depan karena keragaman hayati ini merupakan kekayaan hayati yang sangat diperlukan bagi sumber gen ketahanan untuk menciptakan tanaman tahan terhadap hama penyakit di masa depan. Namun sangat disayangkan lagi-lagi inipun belum terjadi sehingga masih bisa diabaikan, tapi apakah kita terus menerus menunggu terjadi masalah baru bereaksi dan saling menyalahkan setelah semuanya berlalu dan tidak bisa lagi diperbaiki seperti semula. Mari kita belajar dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang paling baik. Generasi sekarang jangan sampai memberi warisan yang menyengsarakan anak cucu kita dimasa depan.

Hal lain yang juga perlu segera ditangani serius, seperti belum ada standar nasional tentang pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan yang ramah terhadap lingkungan untuk mencegah proteksi dari negara kaya di dunia. Standarisasi untuk sertivikasi pengelolaan kelapa sawit juga sangat diperlukan untuk bisa menjaga kualitas produksi standar dari banyaknya pabrik kelapa sawit yang ada di tiap daerah. Optimalisasai perlu segera dilakukan. Bukan lagi meningkatkan produksi dengan menambah luasan areal (ekstensifikasi) tapi Pemerintah Indonesia harus mempunyai rencana strategis dan kebijakan untuk mengembangkan industri hilir. Sehingga nantinya bukan hanya selalu menjadi pengekspor kelapa sawit mentah (CPO) tapi sudah pada produk turunannya. Kebutuhan dunia pun cenderung beralih dari berbentuk CPO kepada turunannya. Sebagai contoh saat ini Indonesia mengekspor 720.000 ton minyak sawit ke Pakistan pada tahun 2006, padahal Pakistan hanya memerlukan impor 25% dalam bentuk CPO sedangkan produk turunannya bisa sampai 75%.

Dengan demikian perlu segera dipikirkan adalah pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan berupa pengawasan dan perbaikan kebijakan dalam praktik perluasan perkebunan sawit dan pengolahannya di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan Selatan khususnya. Pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan harus memikirkan secara cepat dan tepat agar semuanya tidak selalu terlambat. Saat ini pemerintah propinsi Kalimantan Selatan sudah mengambil kebijakan yang tepat dimana investasi perkebunan kelapa sawit dibatasi walau dengan latar belakang keterbatasan lahan yang ada namun di balik itu semua berdampak baik bagi terpeliharanya keaneka ragaman hayati sebagai kekayaan alam yang sangat berharga dan yang lebih tepat lagi semua ini merupakan usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan yang sudah ada. Bahkan akan lebih bermakna apabila diarahkan untuk mengelola lahan tidur yang kita miliki, bukan mengalihkan lahan tanaman pangan menjadi lahan kelapa sawit. ***

*) Dosen Fitopatologi Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru

Thursday, January 24, 2008

Kembangkan 50 Ribu Hektar Sawit

Rabu, 23-01-2008 | 00:40:35

• Jajaran PT Astra Kunjungi BPost Group

BANJARMASIN, BPOST - PT Astra International Tbk terus mengembangkan sayapnya di Kalsel. Melalui Astra Agro Lestari, group yang memiliki 160 anak perusahaan di Indonesia terus memperkuat bisnis dibidang perkebunan kelapa sawit.

Kalsel merupakan daerah yang cukup potensial bagi Astra Agro Lestari sehingga mereka berencana mengembangkan lahan perkebunan sawitnya seluas 50 ribu hektare di dua daerah, yakni Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Hulu Sungai Utara (HSU).

Hal itu terungkap dalam kegiatan silaturahmi antara direksi PT Astra International Tbk dengan jajaran Banjarmasin Post Group.

Rombongan Astra yang dipimpin langsung, Senior Vice President PT Astra International Tbk, Aminudin ini berkunjung ke Kantor BPost Group, Selasa (22/1).

Rombongan Astra yang didampingi Ketua PWI Pusat, Tarman Azzam itu diterima Pemimpin Umum BPost Group HG Rusdi Effendi AR, Pemimpin Redaksi BPost Pramono BS, Pemimpin Perusahaan A Wahyu Indriyanta beserta jajaran dengan penuh keakraban.

Dalam perbincangan serius tapi santai di ruang rapat Anjung Surung, Gedung HJ Djok Mentaya itu kedua belah pihak saling bertukar informasi. Sebagai media, tentunya pihak BPost yang lebih banyak menggali informasi dari PT Astra hingga tumbuh besar.

Menjawab pertanyaan Pimred BPost, Pramono BS bahwa perkebunan kelapa sawit tidak hanya potensial dari segi bisnis tetapi juga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, Aminudin mengatakan, bisnis itu merupakan salah satu yang digeluti PT Astra.

"Perkebunan kelapa sawit terus kita kembangkan melalui PT Astra Agro Wisata. Di Kalsel kita memiliki lahan yang cukup luas dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar," ujarnya.

HRD PT Cakung Permata Nusa, Sunu Gunadi menambahkan perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan Astra Agro Lestari di Kalsel melalui lima perusahaan yakni, PT Bahtera Cemerlang, Cakra Denta Agung I dan II, Astra Agro Lestari I dan PT Cakung Permata Nusa sendiri.

"Kelima perusahaan ini bertempat di Kabupaten Tabalong. Total lahan perkebunan sawit ke lima perusahaa ini adalah 32.400 hektare dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1.700 orang," beber Sunu penuh semangat.

Tahun 2008 lanjut Sunu, Astra Agro Lestari akan mengembangkan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Lahan yang akan diperluas sebesar 50 ribu hektare. Lokasi yang direncanakan yakni, 40 ribu hektare di Negara, HSS dan 10 ribu hektare di Kelua, HSU.

PT Astra International Tbk sebagai perusahaan besar dan sukses dalam perjalanannya tidaklah mulus. Senior Vice President PT Astra International Tbk, Aminuddin mengatakan, perusahaannya juga nyaris kolaps saat krisis moneter menghantam negeri ini.

"Kami mencoba bangkit lagi dengan membangun networking hingga sekarang bisnisnya tidak hanya otomotif tapi juga, perkebunan, alat berat, tambang, financial service, dan jasa angkutan kapal dengan 160 perusahaan di seluruh Indonesia. Ini semua juga tidak lepas dari peran media. Atas itulah kami berkunjung ke BPost," tandasnya. ais

Investor CPO Bermunculan

Selasa, 22-01-2008 | 01:00:10

BANJARMASIN, BPOST - Melejitnya harga minyak dunia, membuat pengusaha dalam maupun luar negeri berlomba menanamkan investasi di bidang perkebunan kelapa sawit dan CPO di Kalsel.

Kepala Bidang Pengembangan Investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kalsel, Tolib, Minggu (20/1) mengungkapkan, dalam waktu dekat satu perusahaan CPO akan dibangun di Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu).

Perusahaan tersebut bernama PT Fass Forest Development dengan bidang usaha yang akan dijalankan yaitu perkebunan kelapa sawit dan industri minyak nabati atau minyak kasar.

Rencananya, perusahaan yang akan menyedot 1.850 tenaga kerja tersebut akan mampu memproduksi 127. 320 ton per tahun kelapa sawit, dan CPO hingga 25.464 ton per tahun, serta 5.092 ton per tahun inti sawit.

Diungkapkannya, perusahaan yang kini sedang dalam proses pengurusan izin tersebut, direncanakan akan menanamkan investasinya hingga Rp 224 miliar untuk tahap awal pembangunan perusahaan dan rencanan penanaman kelapa sawit.

Masuknya perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan CPO tersebut, tambah Tolib, merupakan angin segar bagi iklim investasi di bidang perkebunan di Kalsel yang memang kini sedang digenjot oleh pemerintah, sebagai penyeimbang besarnya investor bidang pertambangan.

"Kalsel bertekad menjadi salah satu provinsi penghasil minyak di Indonesia, makanya pemerintah mempermudah proses perizinan dengan salah satunya memangkas birokrasi yang panjang sebagaimana yang terjadi selama ini," katanya.

Selain industri CPO, tambahnya, Kalsel juga membuka peluang yang cukup besar kepada investor yang ingin membangun pabrik semen, mengingat saat ini pabrik semen di Kalsel hanya satu buah, sementara potensi bahan baku berupa batu kapur dan lainnya cukup besar.

"Selain itu, kita juga berharap pada 2008 ini akan masuk investor pembangunan rel kereta api yang akan mengangkut hasil perkebunan baik itu karet, kelapa sawit dan hasil tambang batu bara dan lainnya," tambahnya.

Menurutnya, untuk mewujudkan realisasi investasi tersebut, selain melakukan promosi, BKPMD bersama dengan Bappeda juga telah menyiapkan draft peta investasi yang akan mempermudah bagi investor untuk melihat secara langsung potensi yang bisa dikembangkan di Kalsel. ant

Tuesday, January 08, 2008

Gapensi Bantu Korban Puting Beliung

Sabtu, 1 Desember 2007
Radar Banjarmasin

BANJARMASIN – Perkebunan kelapa sawit di Kalsel terus diperluas. Jika sebelumnya areal perkebunan sawit terfokus di Kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut saja, kini mulai dibuka lahan baru di Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin, dan Kabupaten Banjar.

Kepala Dinas Perkebunan Kalsel Ir Haryono mengemukakan, lahan yang disediakan untuk perkebunan sawit itu seluas 500.000 hektare lebih. Dari luas lahan tersebut, yang telah diusahakan dan ditanami untuk perkebunan seluas 243.000 hektare. Rinciannya, seluas 200.000 hektare untuk perkebunan besar, sisanya untuk perkebunan tanaman rakyat.

“Dalam rangka revitalisasi perkebunan kelapa sawit, pemerintah akan memperluas arealnya. Yang sudah mendapatkan izin di HSS, Tapin, Banjar, dan Tabalong,” ujar Haryono kepada wartawan, baru-baru tadi.

Menurut Haryono, sektor perkebunan kelapa sawit mempunyai prospek yang sangat bagus. Karenanya, ke depan perlu peningkatan pembangunan industri sawit.

Ia menuturkan, di Kalsel telah ada pabrik kelapa sawit (PKS) sebanyak 14 unit dengan kapasitas olahan 610 ton tandan buah segar per jam. “Pabrik-pabrik kelapa sawit tersebut baru mengolah 60 persen tanaman sawit yang ada, atau 143.000 hektare tanaman yang menghasilkan. Produksi kita rata-rata 400.000 ton per tahun CPO maupun inti sawit,” jelasnya.

Haryono mengharapkan, ke depan Kalsel lebih fokus pada pengembangan industri pengolahannya. Sebab, untuk investasi baru akan terkendala ketersediaan lahan. “Jika pabrik minyak goreng sudah banyak, maka CPO tidak lagi dikirim ke Pulau Jawa atau ke Jakarta. Tapi langsung diolah di Kalsel, termasuk juga CPO dari Katim dan Kalteng. Pemerintah sedang berupaya untuk mewujudkan itu semua,” katanya.

Diakuinya, memang saat ini di Tarjun, Kabupaten Kotabaru, telah dibangun pabrik minyak goreng dengan rencana produksi 5.000 ton per hari. “Mudah-mudahan tahun depan diresmikan, saat ini dalam tahap ujicoba dengan kapasitas produksi 1.000 ton per hari,” ungkap Haryono.

Menyinggung revitalisasi perkebunan yang dicanangkan, Haryono menandaskan revitalisasi seluruh perkebunan yang ada harus menjalin kemitraan dengan masyarakat, atau masyarakat sekitar tidak hanya menjadi penonton tapi dilibatkan. (sga)

Areal Perkebunan Sawit Diperluas Lahan Baru Dibuka di Tabalong, HSS, Tapin, dan Banjar

Rabu, 28 November 2007
Radar Banjarmasin

BANJARMASIN,- Perkebunan kelapa sawit di Kalsel terus diperluas. Jika sebelumnya areal perkebunan sawit terfokus di Kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut saja, kini mulai dibuka lahan baru di Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin, dan Kabupaten Banjar.

Kepala Dinas Perkebunan Kalsel Ir Haryono mengemukakan, lahan yang disediakan untuk perkebunan sawit seluas 500.000 hektare lebih. Dari luas lahan tersebut, yang telah diusahakan dan ditanami untuk perkebunan seluas 243.000 hektare. Rinciannya seluas 200.000 hektare untuk perkebunan besar, sisanya untuk perkebunan tanaman rakyat.

“Dalam rangka revitalisasi perkebunan kelapa sawit, pemerintah akan memperluas arealnya. Yang sudah mendapatkan izin di HSS, Tapin, Banjar, dan Tabalong,” ujar Haryono kepada wartawan, usai menghadiri pengukuhan Ketua GAPKI Kalsel di Hotel Arum Kalimantan, kemarin.

Menurut Haryono, sektor perkebunan kelapa sawit mempunyai prospek yang sangat bagus. Karenanya, ke depan perlu peningkatan pembangunan industri sawit.

Ia menuturkan, di Kalsel telah ada pabrik kelapa sawit (PKS) sebanyak 14 unit dengan kapasitas olahan 610 ton tandan buah segar per jam. “Pabrik-pabrik kelapa sawit tersebut baru mengolah 60 persen tanaman sawit yang ada, atau 143.000 hektare tanaman yang menghasilkan. Produksi kita rata-rata 400.000 ton per tahun CPO maupun inti sawit,” jelasnya.

Haryono mengharapkan, ke depan Kalsel lebih fokus pada pengembangan industri pengolahannya. Sebab, untuk investasi baru akan terkendala ketersediaan lahan. “Jika pabrik minyak goreng sudah banyak, maka CPO tidak lagi dikirim ke Pulau Jawa atau ke Jakarta. Tapi langsung diolah di Kalsel, termasuk juga CPO dari Katim dan Kalteng. Pemerintah sedang berupaya untuk mewujudkan itu semua,” katanya.

Diakuinya, memang saat ini di Tarjun, Kabupaten Kotabaru, telah dibangun pabrik minyak goreng dengan rencana produksi 5.000 ton per hari. “Mudah-mudahan tahun depan diresmikan, saat ini dalam tahap ujicoba dengan kapasitas produksi 1.000 ton per hari,” ungkap Haryono.

Menyinggung revitalisasi perkebunan yang dicanangkan, Haryono menandaskan revitalisasi seluruh perkebunan yang ada harus menjalin kemitraan dengan masyarakat, atau masyarakat sekitar tidak hanya menjadi penonton tapi dilibatkan.(sga)