Minggu, 18 Februari 2007 02:09
* PLG bukan untuk padi, tapi sawit
Jakarta, BPost
Rencana pemerintah merevitalisasi Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare di Kalteng untuk peningkatan produksi padi diragukan para aktivis lingkungan hidup. Revitalisasi itu untuk perkebunan kelapa sawit.
Aktivis lingkungan hidup dan pemerhati lahan gambut Koesnadi Wirasapoetra meyakini hal tersebut. Ini terlihat dari model rehabilitasi kawasan eks PLG tersebut yang masih berpihak pada investasi, yaitu investasi berupa perkebunan besar kelapa sawit.
"Sudah ada sembilan perusahaan mendaftar dan mendapat restu pemerintah untuk berinvestasi di PLG. Lahan yang akan digunakan seluas 156.000 hektare," ujar Koesnadi, Sabtu (17/2). (nama perusahaan lihat tabel)
Selain itu, kata Koesnadi, ada juga investasi dalam bentuk konservasi yang diusulkan Taman Nasional. Luasnya sekitar 377.000 hektare. "Dengan kehadiran dua investasi ini mempersempit dan bahkan hilangnya hak-hak masyarakat adat setempat," ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad menilai revitalisasi itu tidak layak dilanjutkan. Karena PLG tersebut tidak cocok dijadikan lahan pembudidayaan padi. "Yang cocok adalah lahan perikanan," ujarnya.
Kenapa PLG tidak cocok untuk padi? Menurut Koesnadi, karena di wilayah PLG ketebalan gambut mencapai 0,5-12 meter. Sehingga lahan itu tidak mungkin untuk pertanian, kalau pun dipaksakan akan membutuhkan waktu lama.
"Pengalaman masyarakat Kapuas seberang wilayah Anjir Serapat, mereka memerlukan waktu 10 tahun untuk mengolah sawah dari gambut dengan ketebalan 0,5-1 meter," ujarnya.
Di Kalteng, maksimal lahan yang bisa digunakan untuk pertanian sekitar 50 ribu hektare. Itu pun bukan di PLG inti, tetapi di enklaf, yaitu sawah-sawah yang ditelantarkan Soeharto dan kroni-kroninya pada 1970-an hingga 1990-an.
"Lahan persawahan yang ditelantarkan di antaranya di kawasan Pulang Pisau 1.000 hektare dan Basarang 300 hektare," ujar Koesnadi.
Menurutnya, ada empat wilayah di Kalimantan yang bisa dijadikan lumbung padi. Di Kalimantan Timur meliputi Kabupaten Paser, Penajam Paser Utara, Kutai Kertanegara bagian kota Bangun, Berau wilayah Sambaliung-Suaran-Tabalar dan di sepanjang DAS Segah.
Kalimantan Selatan meliputi wilayah Amuntai, Rantau, Rawana, Binuang, Gambut, Banjarbaru dan Barabai bagian dataran rendah.
Kalimantan Tengah mencakup wilayah Kapuas non Gambut dalam, Basarang, Pulang Pisau, Palangka Raya pinggiran, Sampit, Kota Besi dan sebagian wilayah Muara Teweh dan Berito Selatan ke arah Buntok.
Kalimantan Barat di wilayah Ketapang, Pontianak seberang, Singkawang, Sambas dan wilayah Sanggau bagian dataran rendah.
Merugikan
Bercermin pada PLG yang dikembangkan pada 1996 lalu, dari sisi ekonomi, masyarakat lokal sangat dirugikan.
"Banyak kolam milik petani yang dinamai beje jadi kering, tidak bisa lagi membudidaya ikan," ujarnya.
Koesnadi juga menyatakan hal serupa. Selain dari ikan, masyarakat juga kehilangan penghasilan dari rotan.
"Di satu daerah aliran sungai (DAS) Mengkatip, potensi kehilangan penghasilan dari rotan berkisar Rp120 miliar sampai Rp130 miliar per musim panen rotan," ujarnya.
Kerugian lainnya, adalah perubahan ekosistem. "Bila pemerintah serius menghidupkan kembali lahan 400 ribu hektare, berarti mengaktifkan kembali kanal-kanal sehingga membuat lahan jadi kering," ujarnya.
Dampak lebih jauh adalah rentan menimbulkan kebakaran. "Ini tidak saja menyangkut kebakaran akan terjadi setiap tahun, tetapi proyek pemadaman apinya juga," tegas Koesnadi. JBP/amb