Kamis, 06 September 2007
Meski pemerintah telah menerapkan kenaikan pungutan ekspor atas produk minyak sawit mentah atau CPO—dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen—sejak pertengahan Juni, tetapi licinnya minyak goreng membuat harga komoditas yang satu ini tetap liar dan tak terkendali. Harganya naik sekitar 100 persen dalam empat bulan terakhir ini.
Kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional dari sekitar 600 dollar AS per ton menjadi 800-an dollar AS per ton telah mendongkrak harga minyak goreng sawit (MGS) di pasar domestik. Tidak hanya pemilik industri makanan yang menjerit, tetapi juga membuat panik ibu-ibu rumah tangga yang kerap membutuhkan minyak goreng untuk melezatkan makanan. Meski anggaran rumah tangga untuk kebutuhan minyak goreng relatif rendah, hanya sekitar 1,9 persen, tetapi ketika harga terus melambung hingga mencapai Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram, tetap saja membebani anggaran keluarga sebab minyak goreng sudah menjadi unsur sembako.
Penuh ironi
Makin beratnya beban hidup sebagian besar warga di tengah kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia menjadi hal paradoks. Kita menghuni negeri yang penuh ironi. Negeri yang memiliki segalanya, tetapi kekurangan banyak hal. Luas laut yang kita miliki sekitar 5,8 juta kilometer persegi dan kaya akan ikan, tetapi sejumlah besar anak Indonesia masih kekurangan gizi protein karena jarang mengonsumsi ikan. Kita juga punya banyak kandungan minyak bumi, tetapi minyak tanah kerap hilang bak ditelan setan sehingga rakyat harus mengantre hanya untuk mendapatkan 2-3 liter.
Ironi lain dan masalahnya sudah menjadi ritual tahunan adalah beras. Makanan pokok ini telah bermetamorfosa menjadi komoditas politik yang menguras energi. Setiap tahun kita impor beras dari Vietnam dan Thailand, negara yang dulu belajar bertani kepada Indonesia. Kita gagal membangun ketahanan pangan di negeri agraris. Sejumlah warga kerap mengalami kekurangan pangan karena harga beras kian mahal. Tragisnya, keadaan ini memaksa sejumlah warga mengonsumsi nasi aking (nasi sisa/basi yang dikeringkan untuk dimasak kembali).
Kini muncul ironi minyak goreng sawit. Persoalannya bergulir bak bola salju. Semula pemerintah menganggap kenaikan harga MGS hanya bersifat sementara dan akan cepat turun jika dilakukan operasi pasar (OP), sebuah kebijakan yang sifatnya amat temporal. Namun, sudah berbulan-bulan lamanya harga minyak goreng bertengger tinggi dan kemungkinan harganya akan makin mahal sebab masyarakat Indonesia akan memasuki bulan puasa dan rencana pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri sipil.
Pemerintah berdalih bahwa penyebab harga MGS belum juga turun meski OP telah dilakukan dan pungutan ekspor (PE) dinaikkan adalah para agen MGS masih memegang stok lama dengan harga pembelian yang masih tinggi. Lantas, model pembangunan pertanian macam apa yang dilakukan pemerintah selama ini? Pertanyaan kritis masyarakat ini mengemuka sebab penanganan MGS yang dilakukan pemerintah terkesan setengah hati karena tak pernah menyentuh ke akar masalah yang menyebabkan persoalan timbul tenggelam dan dampaknya kerap berulang.
Kita boleh bangga sebagai bangsa penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia dengan total produksi 16 juta ton tahun 2006. Namun di tengah melimpahnya produksi CPO, rakyat berteriak atas langkanya MGS dengan harga terjangkau. Pihak produsen MGS domestik kerap kesulitan memperoleh CPO sebab sebagian besar bahan baku minyak goreng ini mengalir deras ke pasar ekspor.
Pemburu rente
Faktor utama yang melambungkan harga MGS di pasar domestik adalah para pengusaha CPO lebih suka memilih menjadi pemburu rente lewat kegiatan ekspor minyak sawit mentah ketimbang direpotkan untuk memasok CPO ke pabrik MGS lokal guna kebutuhan minyak goreng di pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Tidak ada yang salah dalam pilihan ini sejauh masyarakat kebanyakan mampu membeli produk olahan CPO ini.
Persoalan baru muncul karena sebagian dari pabrik CPO di berbagai daerah ternyata tidak memiliki kebun kelapa sawit. Akibatnya terjadi persaingan dan merusak pasar tandan buah segar (TBS) kelapa sawit karena mereka selalu membeli TBS di atas harga pasar. Guna mendapatkan rente maksimal, maka pabrik CPO model ini mengalirkan minyak sawit mentahnya ke pasar ekspor.
Kian sulitnya pemerintah menurunkan harga MGS memunculkan dugaan lain adanya struktur oligopoli di antara sejumlah perusahaan besar yang bermain dalam ruang bisnis CPO yang berpotensi menetaskan praktik kartel. Jika hal ini terjadi, dampaknya amat dahsyat terhadap tata niaga minyak goreng sebab hanya ada beberapa perusahaan besar yang menguasai industri CPO dari hulu ke hilir. Yang pada akhirnya akan mendikte pemerintah dan secara tidak langsung dapat mengendalikan harga MGS karena mereka pemilik mayoritas CPO.
Kebijakan kewajiban pasokan CPO untuk memenuhi pasar dalam negeri yang sudah disepakati bersama tidak jalan. Bukti ini menunjukkan pemerintah sekarang tidak bisa seperti dulu tinggal komando dan semuanya langsung jalan seperti yang diharapkan. Kalangan produsen CPO tidak sungguh-sungguh melaksanakan tugas DMO. Atas nama kebebasan yang baru menetas di negeri yang masih belajar berdemokrasi ini, pihak produsen CPO tidak menjalankan sebuah jalan keluar bersama yang sudah disepakati. Padahal dalam atmosfer demokrasi, peran dari pemerintah, swasta, serta masyarakat menjadi sama pentingnya dan ketiga pilar ini harus saling menopang. Bukan zamannya lagi menumpukan harapan dan melimpahkan tanggung jawab hanya pada satu pilar saja.
Pada titik inilah sebuah harapan baru yang harus sama-sama kita bangun. Kebiasaan lama yang mungkin masih kita pelihara, yakni lebih suka untuk melimpahkan kesalahan bagi pihak lain, harus dikikis. Bangsa ini bisa maju dan bangkit dari ketertinggalan dan kemiskinan masif apabila ketiga pilar mau saling bahu-membahu mendorong percepatan pembangunan nasional.
Marilah kita belajar dari licinnya carut-marut tata niaga MGS untuk membangun bangsa ini.
Posman Sibuea Lektor Kepala di Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Anggota Dewan Ketahanan Pangan Sumatera Utara