Kamis, 16 November 2006
Acung menunjuk ke arah hutan karet seluas 3,5 hektar yang dimilikinya turun-temurun. Tiap hari dia menyusuri hutan untuk menoreh delapan kilogram getah, yang tiap kilogram dijual Rp 7.500 pada pengumpul.
Hutan karet milik Acung berada di tepi perkebunan kelapa sawit milik PT Mega Sawindo Perkasa (MSP) di Desa Lalang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Desa itu dapat dicapai dua jam berkendara dari Pontianak melalui ruas Trans-Kalimantan yang belum diaspal.
"Keterlaluan. Perusahaan hanya mau bayar hutan karet Rp 500.000 per hektar. Mau makan berapa lama dengan uang Rp 1,75 juta," kata Acung. Dia menduga perusahaan sengaja membakar hutan karetnya karena dia menolak dikonversi menjadi kebun sawit.
Awalnya, kebakaran terjadi di areal PT MSP. Lalu, merambat ke ladang penduduk. Acung curiga kebakaran itu disengaja. Dia semakin marah karena pekerja perkebunan tidak membantunya memadamkan api.
Manajer Lapangan PT MSP, Kong, membantah perusahaannya membakar lahan warga. "Kami juga korban. Uang Rp 500.000 itu bukan ganti rugi, tapi bantuan bagi warga," tutur Kong yang warga Malaysia itu.
Acung menganggap bantahan itu tidak tepat. Alasannya, PT MSP juga telah membayar denda adat Rp 50.000, yang berarti PT MSP telah mengaku salah.
Di Desa Lalang itu perusahaan tempat Kong bekerja akan membuka kebun sawit seluas 2.000 hektar. Sudah ratusan hektar dibuka, namun hingga November ini belum satu pohon kelapa sawit pun ditanam karena bibit sawit baru disemai.
"Kemarau ini sangat parah. Udara kering, rumput pun kering. Sebatang rokok saja dapat menyebabkan kebakaran. Kami ini juga korban," ucap Kong.
Selain Acung, ada warga lain yang hutan karetnya terbakar. Alung, misalnya, mengaku per hari menoreh enam kilogram getah karet. Sementara Yusak menoreh 20 kilogram getah karet per hari. "Saya geram ketika seorang pekerja perkebunan bilang karet dapat tumbuh lagi. Saya bilang, tahu enggak kalau butuh 16 tahun untuk ditoreh lagi," kata Yusak. Seperti Acung, Yusak pun terlihat sangat marah, tapi tiada daya.
Untuk menghadapi PT MSP, kini Acung, Yusak, Alung, dan beberapa penduduk desa telah berkonsultasi dengan pengacara Pontianak, Andel. Mereka berharap Andel dapat memperjuangkan nasib mereka.
Jalur hukum merupakan salah satu upaya penduduk desa. Apalagi sekelompok petugas keamanan dibayar perusahaan untuk menghalangi siapa pun yang ingin mempertanyakan nasib hutan karet mereka.
"Kami pakai pengacara. Semoga hukum masih ada dan kami menang," ujar Acung bersemangat saat ditemui di kawasan perkebunan PT MSP.
Tidak lama, delapan petugas keamanan menunggangi sepeda motor RX-King "mengepung" kami. Kata-kata mereka sedikit mengancam. Ada sedikit rasa gentar. Terlebih, beberapa petugas mengatakan dapat membuat kami tidak keluar selamat dari perkebunan.
Dalam bahasa Dayak, Acung membantah ucapan petugas keamanan. Petugas itu pun pergi setelah kami berjanji melapor ke kantor mereka. "Mereka saudara sekampung walau sekarang memusuhi kami karena telah bekerja dan digaji perusahaan," tutur Acung. Kini, konflik horizontal antarwarga Desa Lalang memang terlihat nyata.
Kepala Desa Lalang Alex Pramana membenarkan, kini ada warga yang pro maupun kontra perkebunan sawit. Namun, dia tidak ingin memihak karena kedua pihak adalah warganya.
Haryono Sadikin dari organisasi konservasi lingkungan WWF-Indonesia untuk Pontianak, prihatin atas pembukaan lahan sawit oleh PT MSP. "Saya tidak mengerti mengapa mereka harus membabat hutan karet masyarakat yang masih produktif. Masih banyak lahan kritis yang dapat diusahakan," ujarnya.
Menurut Haryono, pemerintah daerah dan kepolisian harus menyidik kebakaran lahan PT MSP yang merembet ke lahan rakyat. "Membakar lahan tetap lebih murah daripada membuka lahan dengan alat berat dan banyak pekerja. Musim kemarau sering diperdaya sebagai alasan terjadinya kebakaran tanpa disengaja," tutur Haryono. PT MSP, kata Kepala Bapedalda Kalbar Tri Budiarto, kini sedang disidik.
Kini, seusai hujan berhari-hari, langit Pontianak kembali terlihat biru. Kabut asap nyaris dilupakan warga Kalbar. Namun, hutan karet milik Acung dan petani lain sudah terbakar. Mereka terlalu perkasa untuk menangis, hanya amarah tersisa.... (Haryo Damardono)
No comments:
Post a Comment