Friday, April 20, 2007

Pemerintah Harus Bantu Petani Percepat Peremajaan

Rabu, 17 Januari 2007

Biaya Produksi CPO Tinggi
Jakarta, Kompas - Pengembangan kelapa sawit untuk memproduksi minyak sawit mentah atau CPO terhambat oleh ketersediaan lahan. Saat ini lahan perkebunan yang berada dalam satu titik lokasi sudah sulit diperoleh. Lahan yang terpencar-pencar menyebabkan biaya produksi CPO semakin tinggi.

Untuk menjadikan industri CPO sebagai industri primadona Indonesia, kebutuhan sarana infrastruktur dan transportasi sangatlah dibutuhkan.

Tidak optimalnya ketersediaan sarana-sarana pendukung utama itu menyebabkan produk CPO Indonesia sulit bersaing dengan negara tetangga Malaysia.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris menjelaskan hal itu di Jakarta, Selasa (16/1). Saat ini Indonesia menjadi penghasil minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Malaysia.

Produksi CPO memiliki turunan berupa industri pangan dan nonpangan. Data tahun 2005 menyebutkan, produksi CPO Indonesia mencapai rata-rata 13,5 juta ton per tahun.

Ini dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit seluas 5,5 juta hektar. Dari jumlah CPO yang dihasilkan, sekitar 5,8 juta ton (43 persen) diekspor dalam bentuk minyak mentah dan sisanya diolah untuk kebutuhan domestik.

Tahun 2010, kebutuhan untuk industri pangan diperkirakan mencapai 10,576 juta ton. Pengembangan industri berbasis CPO diarahkan untuk menghasilkan produk pangan, seperti minyak goreng, margarin, dan cocoa butter substitute.

Sedangkan produk nonpangan misalnya oleokimia primer dan turunannya seperti surfaktan, kosmetik, produk farmasi, dan bio-energi.

"Kebutuhan perluasan area bagi tanaman strategis, seperti kelapa sawit, masih menimbulkan kelangkaan lahan. Lahan yang tersedia umumnya sudah diarahkan untuk kawasan industri dan perumahan," ujar Fahmi.

Perhatian buruk

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, Alfridel Jinu, mengatakan, pemerintah terlalu berorientasi pada angka-angka peningkatan produksi yang dibuat berdasarkan asumsi dan prediksi. Misalnya, asumsi Indonesia memiliki potensi lahan atau hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit.

"Infrastruktur yang babak belur, pupuk yang terbatas, dan minimnya investasi pabrik pengolahan tandan buah segar akibat tingginya suku bunga kredit akan menyulitkan Indonesia. Padahal, kalau pemerintah mau lebih memerhatikan hal-hal tadi, dengan luas kebun yang ada sekarang, seharusnya jumlah produksi bisa dioptimalkan tanpa perlu menambah lahan baru," ujar Alfridel.

Untuk mencapai produksi sebanyak 22 juta ton CPO pada tahun 2010, dibutuhkan tambahan lahan dua hingga tiga juta hektar. Selain itu, harus ada penanaman bibit unggul dan pemupukan yang baik untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit.

Saat ini produktivitas lahan sawit menghasilkan CPO sebesar 3,4 ton. Untuk itu harus ditingkatkan menjadi 3,6-4 ton CPO per hektar per tahun.

Menurut Alfridel, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan kebun yang sudah berjalan. Langkah ini dinilai lebih efektif ketimbang membuka lahan baru.

Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia Rosediana Suharto optimistis target Indonesia menjadi produsen CPO utama dunia dapat diraih tanpa perluasan lahan.

Caranya, pemerintah harus membantu petani mempercepat peremajaan kebunnya sejak sekarang dan kemudahan memperoleh bibit sawit unggul.

Koordinator Forest Restoration and Treats Mitigation World Wild Fund-Indonesia (WWF Indonesia) Fitrian Ardiansyah mengungkapkan di Kalimantan, dari sekitar 4 juta hektar lahan yang diperuntukkan bagi kelapa sawit, hanya 2 juta hektar yang benar-benar ditanami. Sisanya tidak ditanami, hanya diambil kayunya. (ryo/ham/osa)

No comments: