Monday, August 07, 2006

Limbah Sawit Bernilai Ekonomi

Kompas; Sabtu, 05 Agustus 2006

Gerai milik Balai Budidaya Air Tawar Jambi pada Kamis (4/8) tidak banyak didatangi pengunjung Jakarta Seafood & Indonesian Aquaculture Expo 2006. Itu dimaklumi, sebab bagian depan gerai itu hanya ditampilkan ikan patin jambal yang terisi dalam aquarium. Gerakan ikan itu agak monoton, sehingga kurang menarik pengunjung.

Sebaliknya, tidak jauh lokasi itu ada gerai beragam jenis ikan kerapu dan ikan hias lainnya. Ikan-ikan itu bukan hanya memiliki warna kulit yang indah, tapi gerakannya beraneka macam, sehingga mampu menyedot banyak pengunjung.

Kendati demikian, ada yang unik dari Balai Budidaya Air Tawar Jambi dalam pameran produk perikanan kali ini. Di pameran itu, balai tersebut menampilkan produk terbaru bernama magot.

Proses pembuatan magot, menurut Kepala Balai Budidaya Air Tawar Jambi Supriyadi, berawal dari limbah (bungkil) kelapa sawit yang dibasahi air, kemudian disimpan di dalam kaleng besar dan terbuka selama tiga sampai empat hari. Saat itu, datanglah serangga buah ke dalam kaleng, dan bertelur.

Selang dua sampai tiga pekan berikutnya telur serangga tersebut memproduksi belatung (magot). Magot itu nantinya dikeringkan, dan digiling menjadi tepung. "Tepung magot ini dapat menjadi pengganti tepung ikan sebagai bahan baku pembuatan pakan. Kadar protein yang terkandung dalam tepung magot sebesar 40 persen," kata Supriyadi.

Sebuah keprihatinan

Motivasi memproduksi magot dilatarbelakangi keprihatinan terhadap kondisi pakan nasional. Maklum, hingga kini Indonesia masih mengimpor tepung ikan untuk bahan baku pakan.

Volume impor tepung ikan rata-rata 32.000 ton per bulan atau 384.000 per tahun. Itu meliputi untuk pakan ternak 60 persen dan 40 persen diolah menjadi pakan ikan. Tepung ikan impor menguasai 80 persen dari total kebutuhan pakan nasional.

Pilihan impor itu karena tepung ikan lokal umumnya diambil dari ikan yang sudah busuk, lalu dikeringkan, dan diolah menjadi tepung. Pakan berbahan baku seperti itu tak diminati udang vaname. Harga pun rata-rata di atas 1,2 dollar AS per kilogram.

Sebaliknya, pakan yang diimpor dari Peru, misalnya, bahan bakunya berasal dari ikan teri dan ikan kembung yang berkualitas tinggi. Produksi kedua jenis ikan itu di negara tersebut mencapai 17,5 juta ton per tahun. Sebagian besar di antaranya diolah menjadi tepung ikan, lalu diekspor ke negara produsen udang, termasuk Indonesia.

Kini, harga tepung ikan di pasar dunia rata-rata 1.500 dollar AS per ton. Padahal, tiga bulan lalu hanya 600 dollar AS per ton. Kenaikan harga tersebut dipicu kebijakan pemerintah Peru yang membatasi volume penangkapan ikan kembung.

Peru adalah negara produsen tepung ikan terbesar di dunia, yakni 57 persen dari total kebutuhan tepung ikan dunia sebanyak 6,2 juta ton. Setelah itu, disusul Chili sebanyak 25 persen, lalu sisanya 18 persen diproduksi Denmark, Norwegia dan Iceland.

Kebutuhan pakan udang di Indonesia rata-rata 300.000 ton per tahun. Meliputi tambak intensif 250.000 ton dan tambak yang semi-intensif 75.000 ton.

Kenyataan itu menjadi keprihatinan Balai Budidaya Air Tawar Jambi.

Maka, mulai awal tahun 2005, balai tersebut bekerjasama dengan pemerintah Perancis melakukan penelitian tentang bahan baku pengganti tepung ikan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.

"Limbah kelapa sawit memenuhi syarat, sebab mampu menghasilkan belatung. Dari beberapa kali uji coba ternyata memberi hasil yang bagus. Ini yang membuat kami semakin bersemangat melakukan pengembangan," jelas Supriyadi.

Keunggulan lain adalah pengolahan limbah kelapa sawit menjadi bahan baku pakan juga tak membutuhkan teknologi tinggi, dan dapat dikerjakan masyarakat desa. Limbah kelapa sawit pun tidak sulit diperoleh, sebab industri kelapa sawit beroperasi di hampir semua provinsi di Pulau Kalimantan, dan Sumatera.

Di Provinsi Jambi, misalnya, volume produksi limbah kelapa sawit rata-rata 50 ton per hari atau 1.500 ton per bulan. Selama ini, komoditas itu dianggap sampah, sehingga tidak pernah dimanfaatkan.

Untuk itu, masyarakat desa akan didorong untuk menggeluti usaha pengolahan limbah kelapa sawit menjadi pakan. Tujuannya, untuk peningkatan pendapatan. Harga tepung belatung di tingkat produsen rata-rata Rp 1.500 per kilogram.

"Dalam waktu dekat kami akan kembangkan usaha pengolahan limbah kelapa sawit dengan melibatkan masyarakat lokal. Kami ingin ada sumber pendapatan baru bagi masyarakat desa," jelas Supriyadi.

Saat ini harga tepung ikan impor rata-rata Rp 135.000 per kilogram. Sebaliknya, harga tepung belatung (magot) hanya Rp 1.500 per kilogram. Itu berarti, terjadi penghematan sebesar Rp 133.500 per kilogram.

Apabila biaya bahan baku pakan makin murah, otomatis harga pakan menjadi lebih rendah. Itu berarti, harga produk perikanan Indonesia di pasar dunia pun bisa ditekan menjadi lebih murah, sehingga bisa bersaing dengan produk perikanan dari negara lain.

"Jika harga produk perikanan mampu ditekan lebih murah, lalu kualitas produk tetap terjaga, maka saya yakin produk perikanan Indonesia dapat ditekan menjadi lebih murah di pasar dunia. Peluang tersebut harus kita rebut," ujar pengamat perikanan Herman Khaerun.

Kendati demikian, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Made L Nurdjana, pakan berbahan baku limbah kelapa sawit hanya bisa dikomsumsi ikan air tawar, seperti ikan patin dan ikan nila. Sebaliknya, perikanan air laut, seperti udang hanya cocok dengan pakan berbahan baku tepung ikan.

Bagi Made, penemuan limbah kelapa sawit menjadi bahan baku pakan merupakan sebuah prestasi besar yang harus diberi penghargaan. Alaxs sebagian kebutuhan pakan nasional dapat terpenuhi dari

No comments: