Monday, April 23, 2007

Belum Tentu Dilikuidasi Induk BUMN Perkebunan Hanya Tambah Rentang Kendali Pengawasan

Jumat, 23 Februari 2007

Jakarta, Kompas - Meski disadari kemampuan badan usaha milik negara sektor perkebunan menghasilkan keuntungan relatif rendah, pemerintah akan tetap mempertahankannya. Pemerintah sedang mengkaji restrukturisasi BUMN perkebunan tanpa harus likuidasi.

"Memang ada BUMN perkebunan yang produktivitasnya lebih rendah dari perusahaan swasta yang mengolah lahan lebih kecil. Tetapi, saya belum memutuskan apa pun karena sedang dikaji hasil penilaian menyeluruh (due dilligence) dari masing-masing perusahaan," kata Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sugiharto di Jakarta, Kamis (22/2).

Ada 15 BUMN perkebunan, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I sampai XIV dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Perusahaan ini berdiri lewat nasionalisasi pengusaha asing dan swasta pascakemerdekaan.

Menurut Sugiharto, ada beberapa sebab pemerintah mempertahankan BUMN perkebunan, yakni fungsi penyerapan tenaga kerja, mendidik petani plasma, dan bersama badan usaha milik daerah mengelola lahan tidak produktif milik pemerintah daerah.

Menurut Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini, pemerintah memang tidak mungkin melikuidasi PTPN yang sudah lama eksis. Opsi likuidasi dapat menimbulkan persoalan, misalnya pengangguran baru dan okupansi lahan negara.

Restrukturisasi harus berjalan bertahap. PTPN yang berkinerja buruk dapat digabung dengan yang baik untuk perbaikan secara bertahap. Setelah seluruh PTPN menguntungkan, pemerintah dapat mengulangi langkah tersebut sampai diperoleh manajemen yang baik. Proses bertahap ini dinilai lebih baik ketimbang memaksakan pembentukan holding BUMN perkebunan.

"Induk perusahaan (holding) hanya akan meningkatkan rentang kendali pengawasan manajemen. Apalagi semua orang tahu bagaimana pola birokrasi PTPN selama ini," kata Didik.

Sementara itu, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi Kementerian Negara BUMN Mahmuddin Yasin mengatakan, saat ini terdapat 139 BUMN yang sebagian besar kinerja dan skala usahanya sebenarnya kecil.

Sekitar 90 persen dari total aset, ekuitas, dan penjualan serta 80 persen laba bersih seluruh BUMN berasal hanya dari 22 BUMN terbesar. "Artinya, dengan jumlah ini, sebenarnya sudah cukup untuk menyumbang keuntungan bagi negara. Persoalannya, diperlukan kebijakan penataan ulang BUMN untuk menuju besaran yang efisien dan efektif dari BUMN," katanya.

Dalam kurun 2005 hingga 2009 direncanakan melakukan rightsizing, baik dengan pembentukan holding, merger, maupun akuisisi terhadap 75 BUMN menjadi 19 BUMN. Melalui kebijakan rightsizing diproyeksikan nilai tambah terhadap 19 BUMN tersebut bisa meningkat dari Rp 42,77 triliun menjadi Rp 329,09 triliun atau tumbuh 669 persen. Peningkatan nilai tambah ini, menurut Mahmuddin, lebih karena pertumbuhan anorganik.

Sementara itu, sebanyak 64 BUMN lainnya yang memiliki nilai ekuitas Rp 380,73 triliun (angka hasil audit tahun 2005), dengan asumsi pertumbuhan 20 persen per tahun, mencapai Rp 1.118,5 triliun atau meningkat 107 persen diharapkan tahun 2009. (ham/tav)

No comments: