Wednesday, April 04, 2007

Nasib Rawa Pascakonversi Sawit

Rabu, 28 Maret 2007 01:26

Oleh: Hamdani Fauzi
Dosen Fakultas Kuhutanan Unlam

Beberapa waktu lalu dalam berbagai kesempatan, petinggi di Kabupaten Tapin mengemukakan rencana untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar di wilayahnya. Pemkab pun berani mencadangkan tidak kurang 70 ribu hektare dari 110 ribu hektare lahan rawa di Tapin, sawit yang tersebar di empat kecamatan yakni Tapin Selatan, Candi Laras Selatan, Candi Laras Utara dan Bakarangan. Dengan luasan itu, perusahaan bisa membangun empat unit pabrik guna mengolah buah tendan segar kelapa sawit.

"Apabila rencana pengembangan kelapa sawit seluas 70 ribu hektare itu terealisasi, akan membuka lapangan kerja baru bagi warga Tapin dan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat," kata bupatinya.

Diperkirakan, untuk membudidayakan kelapa sawit seluas 20 ribu hektare saja mampu menyerap 9.000 tenaga kerja. Angka yang cukup fantastis dan memberi angin segar bagi pencari kerja yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bisa dibayangkan dampak yang akan dirasakan masyarakat. Dari mereka yang bekerja di perkebunan dan industri kelapa sawit, timbulnya kesempatan kerja dan berusaha misalnya dengan membuka warung dan toko sembako, peningkatan daya beli masyarakat, pembangunan infrastruktur wilayah seperti jalan, tempat pendidikan, pasar, dan fasilitas lain yang pada intinya perekonomian di Tapin khususnya akan semakin bergairah termasuk peningkatan PAD.

Sampai pada tataran ini, saya mengacungkan jempol atas kebijakan populis Pemkab Tapin di bawah kepemimpinan Drs H Idis Nurdin Halidi MAP dalam membangun daerahnya dengan memanfaatkan 60 persen lahan rawa yang belum tergarap. Walaupun seorang warga Desa Margasari Ulu dan pengamatan saya, sinyalemen lahan rawa belum tergarap seratus persen karena sering dimanfaatkan warga untuk meramu kayu galam, memancing ikan dan usaha lainnya.

Dampak Ekologis

Barangkali menjadi kelaziman, pembangunan apa pun bentuknya lebih mengedepankan aspek ekonomi secara luas dibandingkan ekologi dan ini terjadi sejak dulu hingga sekarang walaupun dalam porsi berbeda. Tengoklah pembangunan gedung pencakar langit di Jakarta, tempat hiburan dan hunian bagi kalangan the have menjamur di mana-mana, sehingga ruang terbuka hijau dan daerah resapan air semakin berkurang. Ini membuktikan persoalan ekologis tidak jarang termarginalkan.

Bagaimana dengan konversi hutan dan lahan rawa untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit di Tapin? Rawa merupakan kawasan tergenang air yang penggenangannya dapat bersifat musiman atau permanen, dan ditumbuhi tumbuhan (vegetasi). Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati. Jenis floranya antara lain durian burung, ramin, terentang, galam, pantung, rotan, pandan, rumbia, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Di daerah ini vegetasi yang paling menonjol adalah galam. Bahkan menurut Soendjoto (2002), bekantan (nasalis larvatus) juga terdapat di lahan rawa Tapin baik di rawa air tawar maupun rawa galam.

Sekadar mengingatkan, primata ini termasuk satwa dilindungi dan oleh Pemprop Kalsel ditetapkan sebagai maskot propinsi. Secara internasional, primata ini dikategorikan rentan dalam IUCN dan dimasukkan dalam Appendix I CITES. Sebelum dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit saja, populasi bekantan di Margasari semakin terjepit dan terpinggirkan.

Di samping bermanfaat sebagai habitat bekantan, hutan rawa berperan sebagai sumber cadangan air, menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya serta dikeluarkan saat daerah sekitarnya kering. Rawa, sangat strategis dalam mengatur air dan mencegah terjadinya banjir.

Hutan rawa pun dapat mencegah intrusi air laut ke dalam tanah dan sungai, berperan sebagai sumber energi, media semai dan sumber makanan hewani maupun nabati. Galam sebagai salah satu vegetasi yang terdapat di hutan rawa sejak dulu dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan baku industri penggergajian (papan, balok, reng) dan cerucuk (pondasi bangunan dan rumah di lahan rawa).

Akibat konversi hutan rawa untuk perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, berbanding lurus dengan penciutannya dalam jumlah besar pula. Implikasinya adalah terjadinya disfungsi hutan rawa, kerawanan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Pengalaman di Kecamatan Gambut dan Aluh-Aluh, dulu identik dengan hutan gambut yang ditumbuhi galam kini sangat berkurang akibat konversi untuk pembangunan perumahan dan toko. Areal terbuka di hutan gambut dan rawa membuat daerah itu selalu terbakar saat kemarau dan banjir di musim penghujan.

Walaupun hujan tidak terlalu deras namun mampu menggenangi areal di daerah hilir, karena gambut dan rawa yang rusak mudah jenuh oleh air. Belum lagi pengalaman Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare yang ternyata tidak berhasil, bahkan terbukti berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial kemasyarakatan.

Secara umum dampak negatif yang perlu diantisipasi dari aktivitas perkebunan kelapa sawit di antaranya: Pertama, penanaman kelapa sawit cenderung monokultur, homogenitas dan overloads konversi yang berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati; Kedua, pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu. Kita pun mafhum pada dampak kebakaran; Ketiga, kerakusan unsur hara dan air. Dalam satu hari, satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter; Keempat, berpotensi munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi (Sawit Watch, 2007).

Kalau dalam suatu kesempatan Pak Bupati berkata: "Untuk seluruh warga Tapin, ulun mohon doa dan dukungannya, mudah-mudahan proses penanaman kelapa sawit hingga produksi nantinya bisa berjalan dengan baik dan lancar. Kita berharap, lewat penanaman sawit ini bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warga Tapin, terutama masyarakat yang ada di sekitar areal kelapa sawit tersebut," maka, melalui rubrik ini sebagai urang banua saya berharap pengembangan kelapa sawit nantinya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan pranata sosial kehidupan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada usaha per-galam-an. Semoga tidak menjadi blunder!

e-mail: danie_bastari@yahoo.co.id

No comments: