Saturday, May 05, 2007

minyak goreng Petani Khawatir Terkena Efek Domino

Kamis, 03 Mei 2007

Jakarta, Kompas - Kesepakatan produsen minyak sawit mentah atau CPO dan minyak goreng mengurangi laba untuk menyubsidi harga minyak goreng di pasar dalam negeri diharapkan tidak menimbulkan efek domino. Petani khawatir kesepakatan itu menekan harga pembelian tandan buah segar atau TBS sawit.

"Saat ini harga TBS petani sudah mencapai kisaran Rp 1.200 sampai Rp 1.300 per kilogram. Jangan sampai kesepakatan produsen untuk menekan harga minyak goreng dalam negeri malah mengorbankan keuntungan petani," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad yang dihubungi di Medan, Rabu (2/5).

Petani saat ini tengah menikmati harga TBS yang sangat baik seiring harga CPO yang menembus 740 dollar AS di bursa komoditas Rotterdam. Bahkan, lelang CPO lokal di Kantor Pemasaran Bersama PT Perkebunan Nusantara pada 30 April lalu mencatatkan harga Rp 6.823 per kilogram (kg) atau 751,8 dollar AS per ton.

Dari 5,6 juta hektar perkebunan kelapa sawit nasional, rakyat memiliki sedikitnya 2 juta hektar. Adapun jumlah petani yang mengelolanya mencapai 10 juta jiwa dengan sedikitnya 300.000 orang di antaranya merupakan petani plasma.

"Sejauh kebijakan ini tidak berdampak pada petani, kami sangat menghargainya. Karena, saat ini petani tengah menikmati harga TBS yang sangat baik sehingga mereka mampu memupuk dan merawat kebunnya," kata Asmar.

Sementara itu, pengamat ekonomi Faisal Basri mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak terlalu sering menggunakan sistem komando dalam upaya menstabilkan harga suatu komoditas di pasar. Pemerintah seharusnya menciptakan mekanisme sendiri yang lebih lunak untuk mengintervensi pasar jika terjadi gejolak harga.

"Tidak baik pasar terlalu sering didikte. Pemerintah harus mengintervensi pasar tanpa harus mengganggu mekanisme pasar," kata Faisal.

Misalnya, jaring pengaman seperti yang berlaku di Malaysia. Pemerintah Malaysia akan langsung menyubsidi kekurangan harga yang diterima produsen, konsumen, atau petani jika terjadi kenaikan harga minyak goreng di pasar.

"Kita dapat menggunakan dana yang dikumpulkan dari pajak ekspor CPO untuk program itu. Jadi, perlu reformasi sistem penerimaan anggaran kita," kata Faisal.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian Departemen Pertanian Djoko Said Damardjati mengatakan, pengurangan sebagian kecil laba oleh produsen CPO dan minyak goreng nilainya tidak seberapa, jika dibandingkan keuntungan yang mereka dapat dalam sebulan ini.

"Sebulan belakangan ini produsen minyak goreng dan CPO mengalami windfall profit. Mereka dapat keuntungan besar karena ongkos produksi CPO dan minyak goreng tetap, tetapi harga produksinya naik tinggi. Masak mereka tidak mau sedikit berkorban," kata Djoko.

Stok cukup

Sementara di Jakarta, meskipun harga minyak goreng curah di Jakarta selama dua minggu terakhir terus naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.000 per liter. Namun, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jakarta belum akan menggelar operasi pasar karena stok minyak goreng di Jakarta mencapai 120.000 ton atau cukup untuk pasokan dua bulan.

Padahal, konsumen minyak goreng sudah mengeluhkan melonjaknya harga minyak goreng. Masyarakat berharap, pemerintah segera mengendalikannya.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian DKI Jakarta Ade Suharsono tetap menolak melakukan operasi pasar. Pemerintah hanya berupaya mendorong pengusaha melepaskan stok mereka ke pasar untuk menekan spekulan.

Masih tinggi

Pantauan dari lapangan menunjukkan harga minyak goreng di sejumlah daerah masih tinggi. Di Makassar, misalnya, harga minyak goreng mencapai Rp 7.500 per liter. "Sebelumnya tidak pernah minyak goreng sampai di atas Rp 7.000," kata Hadera (63), pedagang di Pasar Terong Makassar, Raby (2/5).

Menurut dia, harga minyak goreng curah masih Rp 6.000 per liter. Memasuki bulan April naik menjadi Rp 6.500, dan naik lagi di pertengahan April menjadi Rp 7.000 per liter. Mei ini sudah menjadi Rp 7.500 per liter.

Kenaikan harga minyak goreng juga terjadi di Bandung, Semarang, Tegal, Bandarlampung, Palembang, Jambi, Medan, hingga Jayapura. Umumnya, harga sekarang berkisar dari Rp 7.000-Rp 8.000 per liter. Akan tetapi, di Bandarlampung dan Jambi bahkan sudah menembus Rp 9.000.

Untuk menyiasati, sejumlah ibu rumahtangga kini memilih membeli minyak goreng kemasan. "Jatuhnya lebih murah dan lebih bersih," kata Ny Yunita di Bandarlampung.

Kebutuhan lain

Selain minyak goreng, masyarakat kini juga dibebani kenaikan harga berbagai barang kebutuhan, terutama telur dan daging ayam. Di Bandarlampung, misalnya, bulan lalu harga telur masih Rp 7.000 per kg, sekarang sudah Rp 9.000. Sedangkan daging ayam broiler naik dari Rp 13.500 per ekor ukuran satu kg menjadi Rp 17.500 per ekor.

Di Jayapura, harga telur ayam dalam sepekan terakhir naik dari Rp 800 per butir menjadi Rp 850 per butir. Harga kacang hijau naik dari Rp 9.000 menjadi Rp 10.000 per kg.

Di Pasar Angsoduo Jambi, harga mentega juga naik dari Rp 6.000 menjadi Rp 7.000 per. Gula yang sebelumnya sempat turun, kini harganya kembali merangkak menjadi Rp Rp 6.500 per kg.

Sagu juga harganya naik dari Rp 2.800 menjadi Rp 3.300-Rp 3.400 per kg. Harga tepung naik dari Rp 3.800 per kg menjadi Rp 4.000 per kg. Demikian pula dengan harga kecap sebelumnya Rp 3.000 per kg, awal pekan ini naik menjadi Rp 3.300.

Di Bandung, kenaikan harga telur, minyak goreng, dan tepung terigu itu secara bertahap, mulai dari dua minggu lalu. Harga daging ayam di Bandung, juga naik dari Rp 15.000 per ekor menjadi Rp 16.500-Rp 17.000 per ekor. (ham/mas/eca/DOE/ROW/LKT/HLN/ITA/AB1/WIE/aci/oni/tht/wsi)

No comments: