Selasa, 8 Januari 2008
(Ditinjau dari Sudut Hama dan Penyakit Tanaman)
DR Ir Ismed Setya Budi MS dan DR Ir Mariana MP *)
Perkebunan kepala sawit yang luas sejauh mata memandang bukan lagi hal yang aneh di Kalimantan Selatan atau daerah lainnya di Indonesia. Komoditas ini pula lah yang menjadikan Indonesia dapat berbangga diri karena bisa menjadi produsen utama terbesar minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dunia dengan produksi 15,9 juta ton pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 sudah bisa mencapai lebih dari 17,2 juta ton.
Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi pembangunan pertanian khusus kelapa sawit yang sungguh fantastis kita alami pada dekade lima tahun terakhir. Dapat dibayangkan hanya sampai tahun 2006 di Provinsi Kalimantan Selatan sudah terdapat 62 perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit yang telah mendapat izin pemerintah dengan luas garapan sebesar 476.685 hektare. Jumlah ini tentunya belum termasuk perkebunan yang dikelola masyarakat secara perorangan. Yakinlah jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan janji kelapa sawit yang terus mengiurkan bagi investor lokal maupun luar negeri. Berdasarkan hitung-hitungan di atas kertas, jelas keuntungan yang diperoleh dari penanaman kelapa sawit akan diraup hanya dalam jangka waktu kurang dari lima tahun, apalagi ditambah asumsi bahwa harga minyak mentah sawit (CPO) terus merangkak naik dari waktu ke waktu. Tidak aneh tentunya keadaan ini membuat semua investasi ingin diarahkan ke kelapa sawit, dari masyarakat awam hingga perbankan pun tergoda untuk berlomba ikut ambil bagian dalam pengembangan kelapa sawit yang penuh pesona.
Pengembangan sistem monokultur secara besar-besaran ini didukung pula oleh berita suksesnya kelapa sawit di negara tetangga seperti Malaysia dan ditambah berbagai kemudahan bagi investor yang diberikan pemerintah daerah, serta adanya prediksi kebutuhan kepala sawit dunia kedepan akan terus bertambah besar, sehingga menjanjikan untuk terus dikembangkan. Pemikiran ini semua tentunya tidak salah, apalagi kalau hanya dilihat secara sempit pada aspek keuntungan. Padahal semuanya akan berhubungan satu dengan lainnya, saling kait mengkait. Dibalik keuntungan yang terbayang didepan mata, apakah sudah diperhitungkan pula kendala besar yang kemungkinan akan memusnahkan angan-angan tadi? Baik itu berupa kerugian yang bersifat langsung maupun secara tidak langsung yang akan seluruh masyarakat kita rasakan.
Sudah sering kita dengar komentar berbagai pihak tentang dampak negatif dari monokultur kelapa sawit seperti musnahnya kekayaan alam berupa keanekaragaman hayati, deforestasi dan penghancuran ekosistem lain yang penting dalam pengaturan iklim atau hilangnya hak asasi masyarakat adat. Namun sayangnya dampak ini semua selalu dianggap enteng dan dibiarkan keresahan ini hilang ditelan bumi karena memang manusia saat ini belum merasakan kerugiannya.
Ada satu hal yang juga terlupakan atau memang sengaja diabaikan, bahwa dampak dari sistem penanaman monokultur secara luas yang terkait langsung dengan hilangnya kekayaan berupa keragaman hayati adalah akan munculnya hama dan penyakit utama pemusnah tanaman kelapa sawit. Ancaman wabah hama dan penyakit tanaman ledakannya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, karena kelapa sawit juga mempunyai banyak musuh berupa hama dan penyakit yang akan muncul sebagai masalah besar apabila didukung kondisi lingkungan. Gangguan hama dan penyakit ini pasti akan terjadi akibat terganggunya keseimbangan alam karena musnah atau berkurangnya keragaman hayati berupa agens antagonis yang dapat berperan untuk menghambat laju perkembangan hama penyakit di lahan secara alami. Apabila suatu lahan sudah mulai terserang hama dan penyakit maka akan sulit untuk dikendalikan dan bahkan dapat dipastikan kecenderungan akan bertambah parah seiring dengan perjalanan waktu dengan makin bertambah banyaknya tanaman yang hancur. Oleh sebab itu, sebelum semuanya terjadi maka tindakan pencengahan sedini mungkin adalah langkah yang paling tepat dibanding mengobati tanaman setelah terserang hama penyakit. Prinsip dasarnya, kita tidak mungkin menyembuhkan tanaman yang sudah sakit dan bahkan ini akan menjadi sumber infeksi primer penyakit bagi tanaman di sekitarnya atau lahan lainnya. Ini pulalah yang mengkhawatirkan dengan sistem monokultur yang mengakibatkan pengendali alamiah tidak mampu berperan dengan baik, karena secara teori, makin kecilnya keragaman akan mengakibatkan semakin pendeknya rantai makanan yang akibat selanjutnya akan mudah terjadi gangguan pada keseimbangan ekosistem seperti kondisi di lahan monokultur kelapa sawit. Dengan demikian timbulnya serangan hama dan patogen yang hebat juga akibat pengendali alamiah di lahan yang tidak berperan karena hilangnya keragaman hayati berupa agens antagonis di lahan.
Sebagai perkebunan yang relatif muda, perkebunan kelapa sawit yang diawali pada tahun 1911 di Sumatera Utara dan baru meningkat pesat setelah tahun 1970, ternyata intensitas penyakit utama berupa busuknya pangkal batang akibat jamur patogen Ganoderma spp terus meningkat dari waktu ke waktu yang makin sulit diatasi. Adanya patogen ini sangat mengganggu proses produksi tanaman dan tentunya akan menambah biaya produksi yang tidak sedikit unutuk mengendalikannya. Sampai sekarang intensitas tanaman sakit terus meningkat karena makin luasnya areal penanaman dan akumulasi dari patogen yang terus menerus bertambah. Demikian pula halnya yang akan terjadi dipertanaman kelapa sawit di daerah kita karena sumber infeksi berupa inokulum patogen Ganoderma spp pasti sudah ada pula di lahan kelapa sawit kita karena terbawa lewat kontaminasi bahan perbanyakan tanaman dan patogen ini mempunyai banyak tanaman inang alternatif (44 spesies), diantaranya kalapa, pinang dan sengon, serta patogen mampu bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu lama. Penyakit lainnya yang juga tidak kalah ganasnya adalah busuk batang atas akibat jamur Fomes noxius, busuk tandan akibat Marasmius palmivorus, busuk daun corticium akibat Corticium solani, penyakit yang menyerang saat pembibitan seperti Botryodiplodia, Melanconium, Phytium, Rhizoctonia dan Glomerella. Semua penyakit ini tidak bisa dianggap remeh karena mampu memusnahkan tanaman kelapa sawit dalam waktu singkat tanpa diduga apabila kita lengah.
Banyaknya kita kehilangan keragaman hayati ini juga merupakan kerugian masa depan karena keragaman hayati ini merupakan kekayaan hayati yang sangat diperlukan bagi sumber gen ketahanan untuk menciptakan tanaman tahan terhadap hama penyakit di masa depan. Namun sangat disayangkan lagi-lagi inipun belum terjadi sehingga masih bisa diabaikan, tapi apakah kita terus menerus menunggu terjadi masalah baru bereaksi dan saling menyalahkan setelah semuanya berlalu dan tidak bisa lagi diperbaiki seperti semula. Mari kita belajar dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang paling baik. Generasi sekarang jangan sampai memberi warisan yang menyengsarakan anak cucu kita dimasa depan.
Hal lain yang juga perlu segera ditangani serius, seperti belum ada standar nasional tentang pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan yang ramah terhadap lingkungan untuk mencegah proteksi dari negara kaya di dunia. Standarisasi untuk sertivikasi pengelolaan kelapa sawit juga sangat diperlukan untuk bisa menjaga kualitas produksi standar dari banyaknya pabrik kelapa sawit yang ada di tiap daerah. Optimalisasai perlu segera dilakukan. Bukan lagi meningkatkan produksi dengan menambah luasan areal (ekstensifikasi) tapi Pemerintah Indonesia harus mempunyai rencana strategis dan kebijakan untuk mengembangkan industri hilir. Sehingga nantinya bukan hanya selalu menjadi pengekspor kelapa sawit mentah (CPO) tapi sudah pada produk turunannya. Kebutuhan dunia pun cenderung beralih dari berbentuk CPO kepada turunannya. Sebagai contoh saat ini Indonesia mengekspor 720.000 ton minyak sawit ke Pakistan pada tahun 2006, padahal Pakistan hanya memerlukan impor 25% dalam bentuk CPO sedangkan produk turunannya bisa sampai 75%.
Dengan demikian perlu segera dipikirkan adalah pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan berupa pengawasan dan perbaikan kebijakan dalam praktik perluasan perkebunan sawit dan pengolahannya di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan Selatan khususnya. Pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan harus memikirkan secara cepat dan tepat agar semuanya tidak selalu terlambat. Saat ini pemerintah propinsi Kalimantan Selatan sudah mengambil kebijakan yang tepat dimana investasi perkebunan kelapa sawit dibatasi walau dengan latar belakang keterbatasan lahan yang ada namun di balik itu semua berdampak baik bagi terpeliharanya keaneka ragaman hayati sebagai kekayaan alam yang sangat berharga dan yang lebih tepat lagi semua ini merupakan usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan yang sudah ada. Bahkan akan lebih bermakna apabila diarahkan untuk mengelola lahan tidur yang kita miliki, bukan mengalihkan lahan tanaman pangan menjadi lahan kelapa sawit. ***
*) Dosen Fitopatologi Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru