Kamis, 22 November 2007
Kuala Lumpur, Kompas - Pengelolaan minyak sawit berkelanjutan seharusnya melibatkan petani, pemilik kebun kelapa sawit skala kecil. Sebab, mereka dan masyarakat sekitar perkebunan adalah pihak-pihak yang paling merasakan dampak dari munculnya perkebunan skala besar di sebuah wilayah.
Hal ini disampaikan juru bicara petani Indonesia, Yurni Sedariah, dalam sidang ke V Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (21/11).
Yurni, petani kelapa sawit asal Kalimantan Timur, menghadiri sidang RSPO bersama lembaga swadaya masyarakat pemerhati kelapa sawit dari Bogor, Sawit Watch.
Dikatakan, perusahaan dan pemerintah harus menghentikan kegiatan perluasan perkebunan yang mengabaikan hak masyarakat. Menurut Yurni, pengakuan terhadap hak masyarakat akan memudahkan perusahaan perkebunan itu beroperasi.
Data Departemen Pertanian menyebutkan, dari 6,07 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, seluas 600.000 hektar di antaranya milik pemerintah, dan 2,7 juta hektar dikelola perusahaan swasta. Sisanya, 2,77 juta hektar, merupakan perkebunan rakyat.
Direktur Scale Up Ahmad Zazali mengatakan, selama ini diskusi RSPO hanya menitikberatkan pada persoalan lingkungan, sementara pembahasan tentang masalah sosial terabaikan.
Padahal, lanjut Ahmad Zazali, keberadaan sebuah perkebunan kelapa sawit dan industrinya sering bersentuhan dengan masalah sosial.
"Keterlibatan petani dalam semua diskusi untuk minyak sawit berkelanjutan tentu akan memudahkan semua pihak untuk mendengar persoalan mereka. Pengusaha, petani, dan pemerintah dapat secara bersama-sama melakukan negosiasi merumuskan solusi yang adil untuk mengatasi pelbagai masalah," kata Achmad Zazali.
Dalam diskusi terbuka RSPO, yang dibagi dalam 13 kelompok, topik masyarakat dan minyak sawit diminati banyak peserta sidang. Forum tersebut menjadi satu-satunya forum yang berdiskusi dalam Bahasa Indonesia karena diikuti oleh petani dan tokoh adat, selain tentu saja para pengusaha. Diskusi yang dipandu aktivis Sawit Watch itu menyediakan penerjemah bagi peserta asing.
Persoalan yang mengemuka dalam diskusi tersebut adalah pengakuan hak atas tanah. Diskusi menyoroti bahwa sering kali masyarakat menjadi korban akuisisi lahan oleh perusahaan. Ini karena pemerintah menerbitkan izin tanpa lebih dulu melakukan verifikasi terhadap kepemilikan lahan.
Kondisi seperti itu menimbulkan konflik, tidak hanya di Indonesia. Menurut Marcus Colchester dari LSM Forest Peoples Programme, konflik akibat pengalihan kepemilikan lahan masyarakat kepada pemilik modal juga terjadi di Malaysia, khususnya di wilayah timur.
Selama dua hari sidang RSPO, isu keterlibatan petani dalam implementasi prinsip dan kriteria RSPO terus menjadi bahan pembahasan.
Dalam sidang hari Selasa (20/11), pembicara dari perusahaan-perusahaan perkebunan, yang telah menguji coba prinsip dan kriteria RSPO secara sukarela, menyampaikan persoalan yang sering dihadapi petani dan kelompok tani, yaitu lemahnya kelembagaan.
Petani yang sejak awal menjadi plasma atau mitra perkebunan jauh lebih mudah dibina dan diorganisasi daripada petani mandiri. Untuk petani mandiri, peran pemerintah harus lebih menonjol. Ini demi tercapainya program.
Sekretaris Jenderal RSPO Andrew Ng berpendapat, konflik yang terjadi bukan hanya antara perkebunan dan masyarakat, tapi juga karena masalah politik.
"Hal ini seharusnya bukan hanya menjadi perhatian RSPO, tetapi juga pemerintah karena pemerintah juga terlibat," ujarnya. (Hamzirwan dari Malaysia)